Bukan Salah Bapak
Rani Citra Lestari (21016040)
Bangunan tua yang sudah bisa dikatakan setengah lusuh itu terlihat seolah tak ada kehidupan di dalamnya karena yang ada hanya keheningan malam, tapi itu dulu. Sebelum kembalinya sosok yang sangat dinantikan, sebelum seisi rumah hanya dihuni oleh dua manusia yang berusaha saling menguatkan dan terlihat baik-baik saja. Jika sore itu, Ranti tidak bisa menenangkan anaknya sudah dipastikan sampai sekarang bangunan yang disebut rumah itu akan selalu dilanda pilu dan penderitaan.
“Nak. Bagaimana dengan perlombaanmu?” ujar sosok yang telah kembali itu.
“Tidak ada yang istimewa Pak,” balas singkat gadis tujuh belas tahun itu. Sang Bapak hanya bisa tersenyum tipis. Ia mengerti dengan sikap anaknya sekarang karena itu mungkin adalah tabur tuai yang ia dapatkan setelah melakukan kesalahan yang meninggalkan luka pada buah hatinya. Rudi mengerti sang anak masih berusaha menerimanya.
Hayati fokus pada tugas yang sedang ia kerjakan tanpa melirik sedikit pun pada Bapaknya. Jujur, sulit untuk membuat keadaan seolah baik-baik saja sekarang. Bagaimana tidak, Hayati dan ibunya ditinggalkan tanpa rasa iba berkedok mencari nafkah diluar sana sampai mereka mendengar kabar burung sosok yang selalu ditunggu ibunya di pintu rumah setiap tahunnya telah hidup bersama wanita idaman lain. Menyakitkan memang.
Bagaimana Hayati menghilangkan rasa sakit melihat sang Ibu yang menangis diam-diam di sudut ruangan yang dibatas anyaman bambu itu setiap malamnya. Bagaimana Hayati kecil bisa melupakan rasa sesak yang bertahun-tahun ia tahan karena kalimat “Bapak mu tidak sayang kamu makanya ia punya istri baru”. Tidak bisa jangan paksa Hayati untuk melakukannya, bahkan Hayati saja mungkin lupa wajah Bapaknya jika sang ibu tidak menggantung potret wajah itu di dinding lusuh rumah mereka.
“Apa kamu butuh sesuatu untuk perlombaanmu? Apa Bapak boleh membelikanmu pakaian baru?” Rudi selalu berusaha membangun komunikasi dengan anaknya.
“Tidak perlu aku masih punya pakaian bagus,” balasnya.
Ranti yang melihat tidak banyak respon dari sang anak hanya bisa menghela nafas berat. Ia paham akan perasaan anak semata wayangnya itu. Tidak mendapatkan peran seorang ayah semenjak kecil menjadikan hal itu sangat asing bagi anaknya sekarang. Di satu sisi Ranti sedih melihat Hayati yang seolah menutup hati untuk Bapaknya meski ia selalu mengatakan ia sudah menerima Bapak dan sudah tidak lagi melayangkan tatapan penuh kebencian itu. Akan tetapi, disisi lain Ranti juga tidak tega melihat suaminya yang berusaha memenangkan kembali hati buah hati mereka.
Melihat Hayati beranjak ke dalam kamarnya, Ranti mengikuti anaknya itu.
“Haya, apakah sudah siap untuk perlombaan besok?” ini yang membuat Hayati semakin menyayangi ibunya. Suara lembut yang selalu mengalun di telinganya.
“Sudah Bu. Tapi aku takut kali ini aku gagal,” untuk pertama kalinya Hayati takut akan kegagalannya dalam perlombaan meskipun ia sudah seringkali memenangkan piala perlombaan. Hayati mulai mengikuti beragam perlombaan di bidang tarik suara sejak ia berumur dua belas tahun dan untuk pertama kalinya ia mempersembahkan sebuah piala pada ibunya.
“Tidak masalah kalau kamu gagal karena hidup tidak selamanya tentang kemenangan,” jelas sang Ibu.
“Tapi Bu,” ucapan Hayati tergantung saat sang ibu melanjutkan percakapan mereka.
“Kamu tahu Nak, dalam hidup kita tidak bisa membuat dunia berjalan sesuai apa yang kita inginkan, kadang kala apa yang tidak pernah terpikirkan akan terjadi itulah yang harus kita lewati,”
“Jangan menyimpan kebencian, Nak” Hayati tahu kemana arah pembicaraan mereka. Hayati sendiri tidak ingin menyimpan kebencian tapi kenapa rasanya begitu sulit mengikhlaskan apa yang Bapaknya lakukan di masa lalu. Dan Ranti pastinya sudah tahu seberapa keras Hayati menyangkal bahwa ia tidak membenci Bapaknya. Hayati hanya kecewa. Itu saja.
“Apa ibu bahagia Bapak telah kembali?” pertanyaan yang sebetulnya sudah lama ingin ia tanyakan.
“Apa menurutmu ibu tidak akan senang ketika seseorang yang memperjuangkan ibu di depan keluarga meski dapat penolakan dan hinaan? Apa kamu berpikir bahwa ibu tidak bahagia sementara akhirnya sosok yang selalu ibu nanti di depan pintu setiap tahun kembali dalam hidup ibu?” bukannya jawaban pasti, Hayati malah diserang balik dengan pertanyaan yang jelas ia tahu jawabannya.
Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun Hayati melihat senyuman ibunya begitu indah seolah dunia ikut bahagia melihat Ranti bertemu kembali dengan belahan jiwanya. Untuk pertama kali sang Ibu tertawa begitu lepasnya saat suatu sore ia tak sengaja mendengar gurauan dari Bapaknya. Tapi mengapa harus ada wanita lain? Itu yang selalu menghantui pikirannya. Jika saja Bapak meninggalkan mereka karena tidak menginginkan kehadirannya, Hayati lebih bisa menerima itu. Mengapa ibunya biasa saja pada hal itu.
“Tapi dia mengkhianati Ibu dengan hidup bersama wanita lain,” akhirnya. Akhirnya Hayati berani melontarkan kalimat itu. Tapi apa ini? Mengapa ibunya hanya membalas dengan senyuman.
“Nak, mungkin ini saatnya Ibu memberitahukannya. Ibu tidak ingin kamu semakin memiliki rasa benci pada Ayahmu sendiri. Seseorang yang di dalam tubuhmu mengalir deras darahnya,”
Hayati bingung. Apa maksud sang ibu? Apa yang belum ia ketahui.
Ranti mulai menjelaskan dari awal kepergian Rudi ke tanah rantau. Tujuan Rudi memang bekerja, ia mendapat pekerjaan dari kenalan adik kandungnya. Tapi naasnya, Rudi mengalami kecelakaan membuat salah satu anggota tubuhnya tidak bisa bekerja dengan baik dan karena hal itulah ia diberhentikan dari pekerjaannya. Rudi putus asa, ia tidak ingin pulang sebelum keadaannya dan juga ekonominya membaik. Rudi bahkan tidak memberi kabar pada Ranti karena ia tidak ingin anak dan istrinya ikut merasakan penderitaannya meski rudi akhirnya menyesali keputusannya itu.
Karena keputusannya itu hubungannya dengan sang anak benar-benar memburuk. Rudi baru memberi tahu keadaannya pada Ranti tiga tahun setelah kecelakaan. Saat mendapat kabar itu Ranti benar-benar merasa sedih.
Lalu bagaimana dengan kabar Rudi dan wanita lain?
Orang-orang di kampung mendapat kabar bahwa Rudi telah menikahi perempuan di Kota tempat ia merantau. Hal inilah yang membuat Hayati bertahun-tahun menjadi bahan perundungan dan membuatnya semakin kecewa pada Bapaknya. Kabar yang beredar itu bukanlah yang sebenarnya. Rudi memang tidak berasal dari kampung yang sama dengan Ranti. Pria yang dikabarkan telah menikah itu adalah adik kandungnya. Memang rudi dan adiknya memiliki wajah yang hampir dikatakan serupa dan wanita yang sebut-sebut sebagai orang ketiga itu adalah adik iparnya.
Saat itu juga Hayati seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Fakta bahwa Bapak tidak pernah mengkhianati Ibu membuatnya tertampar.
“Lalu mengapa Bapak diam saja Bu? Mengapa dia tidak bersuara?” Ranti hanya diam karena melihat sosok Rudi berdiri di pintu kamar. Ranti tersenyum.
“Karena Bapak pikir semua pasti kan baik-baik saja, Nak. Bapak tidak diam, semuanya Bapak ceritakan pada Ibumu.” Ujar Rudi yang membuat Hayati menoleh sempurna padanya untuk pertama kali.
“Saat itu Bapak berpikir selama Ranti percaya itu bukan masalah besar,” lanjutnya.
“Tapi karena hal itu aku menjadi bahan perundungan Pak! Karena hal itu harus menahan sesak selama bertahun-tahun bahkan sampai saat ini!” terkuak sudah segala emosi yang selama ini Hayati pendam. Ia tidak menangis.
“Bapak tahu dan itu adalah hal yang paling Bapak sesali di kehidupan ini,” Rudi tertunduk.
Hayati mencoba menerima semua penjelasan kedua orang tuanya. Fakta yang ia dapatkan tanpa sadar mengikis rasa kecewanya. Tanpa Hayati sadari selama ini ia menginginkan kembalinya sang Ayah meski terus dia mengelak. Tidak. Hayati tidak ingin kehilangan Bapaknya lagi.
“Pak, datanglah dalam perlombaanku nanti malam karena malam ini akan ku pastikan menjadi perlombaan terbaikku dan aku akan menjawab ejekan yang selama ini ku dengar dan dengan lantang aku akan bilang Bapakku menyayangiku,” lirih Hayati yang menerbitkan senyuman di wajah Ibunya, senyuman seperti saat Ibu melihat Bapak kembali.
Rudi memeluk kedua perempuan yang sangat ia sayangi.
“Maafkan Bapak. Bapak mungkin sudah melakukan banyak kesalahan dan Bapak tidak ingin hilang kesempatan,” gumam Rudi yang dapat didengar oleh Hayati.
Sore itu menjadi akhir dari jeratan masa lalu dan menjadi awal dari masa yang akan datang. Ini adalah kali pertama Hayati menjadi anak begitu juga dengan kedua orang tuanya. Semua orang di kehidupan ini layak mendapat kesempatan. Setiap kesalahan yang dilakukan berhak mendapatkan maaf.
“Mungkin bapak memang salah, tapi sesuai kata Ibu dia tetap Bapakku,” ujar Hayati dalam hatinya.
0 Comments
Posting Komentar