SAPUTANGAN LILY
Sucy Putri Mayu (21017082)
Tepat dua belas tahun yang lalu, Negara Kesatuan Republik Indonesia merayakan kemerdekaan yang ke-67 tahun. Berbagai macam perayaan untuk memperingati tujuh belas Agustus dilaksanakan di Desa Pasir Putih. Dinamakan demikian karena di belakang desa adalah hamparan lautan dengan pasir putih.
Teriknya matahari, ombak yang bergulung-gulung, dan angin yang berhembus kencang menerbangkan rambut gadis bernama Lily.
“Ly, kamu nanti main lomba apa?” tanya Abi. Mereka sepantaran. Sama-sama kelas enam SD.
“Aku tidak ikut lomba,” ucap Lily lesu. Ia menatap lurus ke depan. “Ayahku belum pulang.”
Abi ikut menatap ke hamparan lautan di depannya. Di tengah laut, terlihat sebuah pulau. Pemerintah kota setempat menjadikan pulau itu tempat wisata. Ayah Lily merupakan salah satu nahkoda kapal ke tempat Pulau Mutiara. Konon dinamakan demikian karena banyak ditemukan kerang mutiara.
Biasanya, Lily tak pernah sekhawatir ini karena ayahnya pasti akan kembali. Namun, ini sudah dua hari. Melalui telepon yang tersambung kepada Kepala Desa, angin berhembus sangat kencang dan ombak sangat besar sehingga kapal yang mengangkut wisatawan itu baru bisa kembali nanti sore. Lily masih menunggu itu.
“Tenang saja, Ly. Ayahmu pasti kembali. Sudahlah, ayo kita main lomba makan kerupuk!” ajak Abi antusias.
Warga Desa Pasir Putih dan teman-teman mereka sudah berkumpul di pinggir pantai. Lomba pacu karung pun sudah dimulai.
“Aku tidak ikut lomba.” Lily mengatakannya sungguh-sungguh dengan intonasi yang mencekam. “Ayahku belum pulang. Aku tak bisa bersenang-senang.”
Abi akhirnya menyerah. Lalu datang Rara dan berdiri di sampingnya. Ia mengibaskan tangan ke muka Lily agar temannya itu tidak bermenung. “Ly, ada apa? Kata Abi kamu tidak ikut lomba apa pun?”
Lily mengangguk. “Iya. Aku menunggu ayah.”
Rara akhirnya menyerah juga. Kemudian datang kepala desa, Pak Kasan. “Lily, teman-temanmu sedang berlomba. Hari ini memperingati perayaan tujuh belas Agustus, tidak afdal kalau kamu tidak ikut serta.”
Pak Kasan mengajak Lily untuk bergabung, namun gadis itu enggan. Dia berdiri menatap lurus ke laut. Lebih tepatnya ke Pulau Mutiara yang nampak kecil dari tempatnya berdiri.
“Ayah, ayah, ayah ... ayo pulang.”
Pak Kasan mendengar itu menepuk pundak Lily. “Pak Ron dan wisatawan lainnya sebentar lagi akan pulang.”
Lily menitikkan air matanya. Dilihatnya ombak semakin besar. Pak Kasan mengajak semua warga untuk memberhentikan lomba memperingati kemerdekaan Indonesia yang ke-67 itu. Badan Lily berangsur lemah dan ia pingsan.
***
Dua belas tahun kemudian tepatnya pada tahun 2024. Lily sedang berada di SMA 1 Desa Pasir Putih. Tentu saja bukan sebagai murid, ia kini menjadi guru di sana walaupun masih honor. Usianya kini menginjak dua puluh empat tahun.
Lily menggenggam erat sapu tangan bermotif bunga anggrek. Setiap akan mengajar, ia selalu membawa selembar kain berbentuk persegi dan berukuran kecil itu. Ada satu muridnya yang penasaran kenapa dirinya selalu membawa saputangan. Anak yang bertanya itu bernama Alka.
Lily menjawab, “Saputangan ini hanyalah benda bagi sebagian orang yang gunanya untuk mengelap tangan atau membersihkan sesuatu. Namun, bagi Ibu saputangan adalah peninggalan terakhir dari seseorang yang Ibu sayangi.”
“Cie, siapa Bu?” tanya Alka.
Lily menatap kembali sapu tangannya. “Saputangan ini milik ayahnya Ibu.”
Dari luar jendela kelas, terlihat langit nampak gelap. Lalu hujan turun sangat deras. Suara Lily yang lemah lembut itu hampir tidak terdengar. Lily melangkah ke gorden, hendak menutupnya, namun tanpa sadar air matanya jatuh.
***
0 Comments
Posting Komentar