MERAYAKAN KEBERSAMAAN
Tanya Rizka Amalia (22017123)
Perjalanan Padang-Lamongan yang melelahkan. Sudah tiga hari tiga malam aku duduk berdesakan dengan barang di dalam mobil. Menikmati hiruk-pikuk ramainya jalan-jalan besar, truk-truk besar, dan indahnya bulan yang terang di selat Sunda. Akhirnya pada malam minggu pertengahan Agustus aku sampai di desa tempat aku bertumbuh.
Malam itu Ngayung sangat sepi. Hanya suara jangkrik dan suara burung hantu yang memenuhi telinga. Pada malam yang melelahkan itu aku dan orang tuaku saling membantu membawa barang-barang yang ada di mobil masuk ke dalam rumah. Beruntungnya rumah yang aku tinggali itu sudah dibersihkan oleh orang yang membuka jasa membersihkan rumah, jadi aku dan ibuku tidak perlu bersusah payah membersihkan rumah besar yang pemiliknya pulang ketika ada kepentingan saja. Setelah selesai, kami beristirahat dan tidur di kasur yang empuk.
Keesokan paginya, suara motor sudah terdengar ramai berlalu lalang, begitu juga dengan suara penjual sarapan pagi keliling yang berteriak menawarkan barang dagangannya. Sebagai orang rantau yang baru sampai di kampung halamannya, ibuku menawarkan untuk membeli sarapan yang ada di gerobak penjual sarapan keliling itu.
“Aku mau nasi kuning, Bu,” ucap adikku setelah mendengar penjual sarapan menyebutkan nasi kuning.
“Adik mau nasi kuning?” tanya ibuku memastikan yang disusul anggukan dari Abdul. “Nasi kuningnya berapa, Mbak?”
“Enam ribu saja, Bu.”
“Berarti ini nasi kuningnya sebungkus dan nasi pecelnya tiga bungkus, ya, Mbak. Jadi semuanya berapa, Mbak?” tanya ibu yang telah menyiapkan selembar uang lima puluh ribu di tangannya.
“Dua puluh tujuh ribu, Bu.”
Setelah menerima kembalian uang, ibu membawa plastik yang berisi sarapan itu masuk ke dalam rumah. Pagi itu kami sarapan bersama di ruang tamu. Seusai sarapan kami berpencar karena kegiatan masing-masing. Aku memilih untuk merapikan barang bawaanku dari Padang. Mengeluarkan barang-barang yang di rasa perlu dari tas yang sudah aku bawa dan menyimpan laptopku di tempat yang dirasa aman.
Aku melihat jam di layar ponselku. Rupanya sudah jam tujuh. Aku kembali melanjutkan kegiatan pagiku, membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Pagi itu semua kegiatan kukerjakan dengan penuh semangat. Menyapu adalah hal yang paling seru tapi juga melelahkan. Sambil bernyanyi aku menyapu teras rumah yang lumayan luas. Tak lama seorang nenek-nenek datang mendekat kepadaku.
“Nduk kok di rumah? Kapan sampainya?” tanya Mbah Ji Nar seusai aku mencium tangannya yang sudah keriput.
“Nggih, Mbah. Semalam Mbah, sekitar jam sepuluh.”
“Sudah kelas berapa sekarang?” tanya Mbah Ji Nar lagi yang berujung obrolan yang lumayan panjang.
Obrolan itu terhenti sejenak ketika ibu datang. Ibu menyambung obrolanku dan Mbah Ji Nar yang sempat terjeda. Aku ikut bergabung sebentar dan kemudian izin melanjutkan pekerjaan menyapuku yang belum rampung.
"Mbah, saya melanjutkan kerjaan saya dulu nggih," izinku lalu kembali menyapu.
Waktu terus berlalu, tibalah hari ketiga aku berada di kampung halamanku. Sore itu di Ngayung sangat ramai. Apalagi kalau bukan karena lomba tujuhbelasan. Lapangan yang berlokasi di belakang SD Ngayung dipadati warga dari berbagai kalangan usia, tak terkecuali para penjual jajanan keliling yang sedang menjajakan barang dagangannya. Riuh sorak warga ketika bola masuk ke dalam gawang berhasil menambah semangat para pemain lomba sepak bola antar RT saat itu.
"GOOLLLL!" sorakan bahagia para pendukung tim kebanggaannya.
Aku duduk di pinggir lapangan. Memperhatikan kehebohan yang ada pada sore itu. Aku mengingat sesuatu tentang lapangan yang dipakai untuk pertandingan sepak bola antar RT di desaku ini. Ya, tepat tiga belas tahun yang lalu aku sering bermain di tempat ini. Dan SD Ngayung adalah sekolahku sebelum aku pindah ke Padang.
"Kakak," suara Abdul membuyarkan bayangan nostalgiaku. "Temani aku jajan, Kak."
Permintaan Abdul membuatku meninggalkan tempat duduk dan bayangan nostalgiaku. Aku berjalan bersama Abdul ke tempat yang ingin ditujunya. Ternyata Abdul ingin membeli jajanan pentol yang diberi kuah kacang. Aku tertarik untuk ikut membeli. Saat sedang menunggu pesananku dibungkus, salah satu perempuan yang juga sedang membeli membuka obrolan dengan penjual pentol yang kerap disapa Bang Toyib.
"Bang Toyib nanti waktu nyadran jualan juga, kan?" tanya perempuan yang sedang melipat tangannya di depan dada yang juga menunggu pesanannya di bungkus.
"Iya toh, Mbak. Wong saya lagi mencari penghidupan."
Aku hanya diam mendengar obrolan yang terjadi di depanku. Mendengar kata nyadran, seketika kepalaku dipenuhi tentang tradisi nyadran yang diadakan setiap sekali setahun di Ngayung. Mengingatkanku pada almarhum kakek dan nenekku. Ya, kampungku ini sudah tujuh tahun tanpa kakek dan nenekku.
Sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengan nyadran. Nyadran adalah sebutan dari masyarakat Jawa. Ada juga orang yang menyebutnya dengan sedekah bumi. Yang aku ingat tentang nyadran adalah saat di mana kakekku menjadi penjagal kerbau untuk tradisi nyadran dengan pisau sembelihnya yang legendaris. Nyadran juga selalu membawa ketenangan. Warga desa akan saling bahu-membahu dan saling bantu untuk kelancaran salah satu tradisi Jawa ini. Juga melupakan berbagai energi negatif dan berbagi energi positif kepada orang lain.
Keesokan harinya kami disuguhi pertanyaan yang sama oleh beberapa orang. Pertanyaan kapan kami akan balik ke perantauan. Pertanyaan itu terus diulang oleh orang yang berbeda, kemudian disusul pernyataan lebih baik kami berangkat setelah nyadran saja. Kala itu kami sempat dilanda rasa bingung. Kami ingin ikut merayakan nyadran, tetapi kami juga harus segera pulang ke Padang. Setelah diskusi panjang, kami sepakat untuk tinggal dan ikut merayakan nyadran di Ngayung, desaku.
Tiga hari sebelum tradisi nyadran dilaksanakan, mobil-mobil datang memasuki gapura desaku. Ya, mobil-mobil itu adalah milik warga desa yang pulang dari perantauan. Bahkan ada paguyuban desaku yang berada di ibukota beramai-ramai pulang menaiki kereta. Mungkin kalau dihitung kurang lebih ada seratus orang yang pulang dari perantauan dengan tiket kereta yang sama, atau mungkin juga gerbong kereta yang sama. Pada hari itulah, Ngayung terlihat lebih ramai. Orang 0rang tua pun terlihat lebih sumringah karena anak dan cucunya pulang ke
rumah. Tak terkecuali teman kecilku, Nalu. Ia juga pulang dari Jakarta menggunakan mobil Jazz kuning bersama kakak laki-lakinya dan juga keponakannya.
Di hari itu semua warga mulai gotong royong menyiapkan kebutuhan untuk nyadran. Sore itu ibu mengajakku pergi ke rumah saudaraku yang tidak jauh dari rumah, mempertemukan Abdul dan saudara kembarnya. Secara fisik memang mereka tidak terlalu mirip, namun hampir setiap orang yang bertemu mengatakan Abdul mirip dengan Saga. Akhirnya mereka bertemu namun enggan saling sapa. Saga hanya sibuk dengan layang
layangnya, sedangkan Abdul sibuk melihat kerbau besar yang ada di depan rumah Saga. Aku rasa kerbau itu adalah kerbau yang akan disembelih pada tradisi nyadran nanti. Kerbaunya gemuk dan kekar. Selama hidup tak pernah aku melihat kerbau sebesar itu.
Hari mulai gelap, sebentar lagi suara pukulan bedug akan terdengar. Ibu segera mengajak kami pamit untuk pulang. Tepat pada saat suara azan magrib berkumandang, kami sampai di rumah.
“Bu, nyadran itu apa? Tadi kakak bilang kerbau besar yang tadi kulihat mau disembelih untuk nyadran,” tanya Abdul kepada ibu sesuai melaksanakan salat magrib.
“Nyadran itu salah satu tradisi di kampung kita ini, Dul. Kalau nyadran memang biasanya menyembelih kerbau. Dulu almarhum mbah kungmu yang sering menjagal kerbau nyadran di lapangan voli dekat kuburan sana,”
“Mbah kung tak hanya menjagal kerbau nyadran saja, Dul. Waktu hari raya Idul Adha, mbah kung juga yang menjagal sapi-sapi dan kambing-kambing kurban.” Sambungku melanjutkan cerita ibu tentang almarhum kakek.
“Wah! Keren sekali ya mbah kung, mbah kung sangat berani. Aku saja takut melihat kerbau tadi. Aku takut diseruduk. Mbah kung malah berhasil mengalahkan kerbau itu. Huh … Kakak mah enak masih bisa bertemu dengan mbah, sedangkan aku tidak,” ucap Abdul bangga bercampur kesal mengingat saat ia baru lahir mbah kung dan mbah putri meninggal dunia.
“Tidak apa, Nak. Kan kemarin kita sudah mengunjungi makam mbah. Nanti lain kesempatan kita mengunjungi makam mbah lagi, oke?” Kata ibu menenangkan Abdul yang kemudian disusul anggukan dan senyuman dari Abdul.
Besoknya warga mulai ramai memadati pemakaman Ngayung. Para lelaki gotong royong membersihkan pemakaman. Memotong dan mencabuti rerumputan liar yang tumbuh di area pemakaman. Dengan membawa pisau dan arit mereka bersama-sama membersihkan area makam.
“Piye, Lek? Aman?” Tanya salah satu warga yang sedang bekerja ke orang di sebelahnya.
“Tenang wae, disini aman terkendali.”
Tak berselang lama, beberapa ibu-ibu datang silih berganti dengan membawa makanan dan minuman untuk orang yang bekerja. Beberapa ada yang membawa gorengan seperti risoles, pastel, pisang goreng, dan gorengan lainnya atau ada juga yang membawa kue bolu. Ada juga yang membawa teh, kopi, dan minuman lain yang bisa melepas dahaga dan menambah semangat orang-orang yang gotong royong pagi itu.
“Monggo dimakan,” ucap salah satu ibu-ibu yang menyuguhkan piring berisi makanan ringan yang sudah diantar.
“Monggo yang mau minum kopi bisa diambil di sini nggih,” ucap ibu-ibu lainnya.
Dewasa ini aku baru menyadari kalau tradisi nyadran ternyata sedamai ini. Bagaimana tidak? Warga saling bantu demi kelancaran tradisi nyadran. Pemandangan pagi itu berhasil membuatku senyum sendiri.
Ba'da dzuhur, lagi-lagi aku diajak ibu untuk mengunjungi rumah kerabatku, Lek Tih. Lek Tih adalah kerabat ibu yang lama merantau di Jakarta. Lek Tih baru saja sampai di Ngayung. Lek Tih pulang bersama rombongan orang yang naik kereta. Sudah tujuh tahun kami tidak bersua. Alhasil kami saling bercerita tentang kehidupan di perantauan.
“Besok lihat nyadran, kan?”
“Iya, Lek. Sudah lama tidak hadir menyaksikan nyadran. 2019 lalu kami sudah sampai di Padang, nyadran baru dilaksanakan, Lek.”
“Yowis rapopo, besok kita bareng, ya.”
“Aku ikuuttt!” Ucap Abdul dengan semangatnya.
Setelah lama berbincang, obrolan kami terpaksa terhenti karena adzan ashar berkumandang. Kami berencana pamit. Lek Tih menahan kami, dan menyiapkan baskom berukuran sedang yang diisi dengan bungkusan masakan khas Jawa, lontong yang dibalut dengan daun pisang, dan beberapa kue tradisional. Kemudian Lek Tih memasukkan baskom tersebut ke dalam plastik berukuran besar.
“Ini dibawa, ya. Ada cinjo dari saudara Lek di desa sebelah,”
“Apa tidak terlalu banyak, Lek?” Tanyaku keheranan.
“Tidak, Nak. Di sini juga siapa yang mau makan, Lek hanya berdua dengan suami Lek. Anak-anak Lek di pesantren dua-duanya, makanya tidak ikut pulang. Daripada nanti terbuang basi, lebih baik Lek bagi buat kalian makan di rumah nanti.” Jelas Lek Tih.
Lek Tih tahu saja kalau hari itu kami belum ada menu makan siang. Cinjo dari saudara Lek Tih adalah penyelamat dari rasa lapar siang itu. Cinjo memang seringkali menjadi hal yang ditunggu ketika ada acara besar. Cinjo juga salah satu tradisi yang ada di Lamongan. Tradisi cinjo biasanya berbentuk makanan yang sudah dimasak matang, tapi terkadang juga dalam bentuk bahan makanan mentah seperti beras, gula, dan minyak goreng.
Akhirnya kami sampai di rumah. Baru saja kami duduk, terdengar seseorang yang mengucapkan salam di depan rumah. Ibu segera menuju pintu, ternyata Bude Wat yang datang dengan membawa piring di tangannya. Piring itu berisi ketan yang di atasnya diberi kelapa. Kelapa di atas ketan itu dibentuk bulat-bulat seperti kelereng. Ya, lagi-lagi ini bagian dari tradisi nyadran. Dan Lagi-lagi kami mendapat rezeki berupa makanan.
“Alhamdulillah dapat rezeki dari Allah,” Ucap Abdul setelah mendapati kue kesukaannya di baskom cinjo pemberian Lek Tih.
“Rezeki apa, Dul?”
“Kue ini, hehehe.” Jawab Abdul cengengesan.
Keesokan harinya, tibalah hari di mana nyadran akan dilaksanakan. Pagi itu dimulai dengan penyembelihan kerbau besar yang kemarin aku ditemui di depan rumah Saga. Penyembelihan dilakukan di lapangan belakang masjid. Suasana yang sangat ramai. Bahkan ada anak-anak yang sampai memanjat tembok pembatas masjid dengan area pemakaman untuk bisa melihat proses penyembelihan kerbau nyadran. Abdul takut untuk melihat dengan jarak
yang dekat sehingga kami hanya melihat dari kejauhan, dan aku harus mengikhlaskan pagi itu tidak bisa memotret proses penyembelihan lebih dekat. Lagipun jika aku melihat dengan jarak lebih dekat, sudah pasti aku tidak bisa melihat dengan jelas karena terhalang warga lain yang juga melihat penyembelihan kerbau besar itu.
“Jangan dekat-dekat, Kak. Nanti kerbaunya mengamuk.”
“Yowis, Abdul di sini ya, Kakak lihat kesana,” ledekku kepada Abdul.
“KAKAAKK!!!” Teriakan Abdul yang membuatku tertawa.
“Bercanda, Dul. Kakak di sini saja, di sana sudah terlalu ramai.” Ujarku menenangkan Abdul yang hampir saja menangis karena kejahilanku.
Proses penyembelihan selesai. Selanjutnya daging kerbau dibersihkan dan dipotong, kemudian dibagi kepada orang gogolan. Orang gogolan adalah orang yang memiliki sawah berhektar-hektar, salah satunya seperti Bude Wat. Daging hanya diberikan kepada keluarga gogolan. Orang gogolan dianggap sebagai orang yang punya hajat, itu mengapa daging kerbau hanya diberikan kepada mereka. Setiap tahun orang-orang yang termasuk ke dalam orang gogolan akan berganti, tidak lagi orang yang sama.
Daging kerbau yang tersisa diolah menjadi masakan oleh panitia bagian memasak, siapa lagi kalau bukan para ibu-ibu. Di sisi lain, para lelaki gotong royong mendirikan panggung sederhana di tanah kosong samping masjid. Panggung akan digunakan untuk tempat para pemuka agama desa duduk pada acara malam nanti. Anak-anak muda juga turut membantu menyiapkan segala hal yang diperlukan. Semua saling bersanding bahu menyiapkan nyadran malam nanti. Begitupun aku yang ikut menyusun kue-kue di dalam kotak berbentuk kubus untuk dibagikan nanti..
Sore harinya, area pemakaman Ngayung kembali dipadati warga. Bukan lagi untuk membersihkan area pemakaman. Orang-orang datang ke pemakaman tak lain untuk mengunjungi makam anggota keluarganya yang telah tiada dan dikuburkan di sana. Aku sedikit sedih mengingat bagian ini. Walaupun keluarga dari ibu banyak dimakam di pemakaman Ngayung, tetapi kakek dan nenekku di makam di tempat yang jauh, di Depok. Namun begitu, setiap kirim doa nama mbah kung dan mbah putri selalu disebut, mengingat beberapa jasa yang pernah dilakukan almarhum kakek untuk desaku itu.
“Ibu, kenapa di sana ada panggung? Panggungnya buat apa, Bu? Terus kenapa ramai sekali, Bu?”
“Dul, nanti malam ada nyadran, yang kemarin Abdul tanyakan ke Ibu.”
Mendengar jawaban ibu, Abdul tersenyum simpul. Jelas seperti ada yang direncanakan oleh adikku yang berumur tujuh tahun itu. Bagaimana tidak, Abdul melihat beberapa penjual mainan sedang mempersiapkan lapaknya. Abdul pasti sudah merencanakan akan membeli sebuah mainan.
Malam nyadran tiba. Malam itu benar-benar membuat bulu kudukku merinding. Semua warga datang dari arah manapun dengan berjalan kaki. Semua warga Ngayung berkumpul di satu tempat. Duduk bebarengan di lokasi yang sama. Memang tidak rugi aku menunda berangkat pulang.
“Kak, kita duduk di sini saja, ya,”
“Iya, Dul. Di sini saja. Aku tahu apa yang ada di pikiranmu.”
Benar saja, tak berselang lama Abdul meraih lemper yang ada di depannya. Lemper adalah salah satu penganan yang tidak pernah tertinggal ketika ada acara hajatan di Ngayung. Karena menemukan lemper, Abdul lupa dengan hajatnya untuk membeli mainan incarannya.
“Lebih baik aku beli lemper banyak-banyak daripada aku beli mainan. Lemper ini sangat enak.” Gumam Abdul pada dirinya sendiri.
Nyadran memang sehangat itu. Gema selawat yang diiringi tabuhan rebana terdengar menenangkan. Bulu kudukku semakin merinding. Seindah inikah kebersamaan? Atau memang kebersamaan seindah ini? Seperti bunga tidur aku berada di antara lautan manusia malam itu. Hanyut dalam lantunan selawat. Aku benar-benar baru menyadari kalau nyadran memang unik. Nyadran bisa menyatukan semuanya. Nyadran adalah bentuk rasa syukur yang tiada terukur. Pada malam itu kami juga melakukan kirim doa. Mendoakan semua orang Ngayung yang telah tiada. Sekali lagi kukatakan bahwa nyadran memang seindah itu. Semua merasakan ketenangan. Kebersamaan memang membawa kebahagiaan. Tanpa disadari, aku menitikkan air mata. Terharu dengan manisnya suasana Ngayung kala itu.
Nyadran ditutup dengan pembagian berkat. Berkat yang berisi olahan masakan daging kerbau beserta nasinya dan kotak berisi kue lengkap dengan air minumnya. Sebagian orang ada yang langsung memakan berkat yang sudah dibagikan, ada juga yang memilih untuk dibawa pulang. Malam itu, warga Ngayung menutup malam dengan rasa syukur penuh.
Dua hari setelah nyadran dilaksanakan, kami memutuskan untuk berangkat ke Padang. Ngayung terpaksa kembali sunyi karena sebagian warganya kembali berangkat merantau. Orang-orang tua juga harus kembali mengikhlaskan anaknya kembali mengais rezeki ke luar daerah. Waktu berlalu cepat rasanya. Satu per satu mobil mulai pergi meninggalkan gapura Ngayung. Ngayung memang penuh dengan cerita manis kebersamaan, siapapun pasti akan merindukan dan segera pulang.
“Semoga bisa bertemu nyadran lagi. Dan semoga bisa menikmati cinjo lagi.” Gumamku dalam hati saat melewati gapura desa Ngayung.
0 Comments
Posting Komentar