Murni Liar Pasokan Asa
Dimas Guntara (21017045)
Demi apa yang telah terjadi pada tajuk berita dan atas apa yang telah tersampaikan pada pelipur lara. Gema kepala ingin mengulang masa masa yang datang, untuk mitra lupa nama. Apakah tulus masih dianggap masif? Atau hanya modal sebuah imajinatif?
Instruksi mata merajut, membumbung tinggi was-was kekeliruan. Sepasang lisan merajuk, membengkok patah secercah harapan. Apakah kita masih terikat? Atau hanya sebuah nama ketika dekat? Mungkin, mantra-mantra kurang begitu pesat dan isian aksara yang masih sesat.
Deru bunyian paksa, mata, dan rata membujuk masa lupuh. Membunuh aib-aib kajian liar serta merta melepas ruang dimensi eretomonia. Haruskah tiap-tiap nafas melontarkan hawa retorika? Atau tiap-tiap diksi membasahi indahnya kajian sastra?
Nikmati perkata, makna, dan inti persoalan ini. Tertuang jelas dalam puisi rima ini, dan tergambar luas ruang rasa akhir kisah ini. Tidak juga kau mengerti, mengapa rasa sudah diprediksi? Mungkin bait-bait dalam ringkasan kata ini sudah cukup mendefinisikan posisi.
Momentum bertabrakan dari wajah, nama, dan suara bahkan sudah lupa. Tetapi secuil saraf putus masih menyebut insanya. Marak sekali dendam mengikuti riak mata angin kuasa. Sekadarnya laju fantasi pengalaman, pendapat, pemikiran, dan perasaan memikat.
Berantakan siang memanggil-manggil malam dan tergelincir sore dibahu jalan sunyi. Untuk kita yang menafikan asmara bersama duka fana permata. Apakah hayalan telah putus? Atau wujud malu sudah pupus? Mustahil jika akhirnya ceroboh terulang dan pulang bukan lagi bukti otentik.
Mati, Tertutup kisah amarah kilat yang Menggelempar rayuan kusut fakta. Tidak ada lagi kisah-kisah dan puisi-puisi yang tertuang bersama akta. Tercipta sengsara iman akhir lingkup kasih dan tergerus air jatuh mematahkan semangat angan mata lara. Terima kasih atas rasa dan cerita kejut hilangnya nyawa.
0 Comments
Posting Komentar