KOTA MATI

Intan Mairiza Putri (21016024)

Aku tersenyum menatap kota maju yang berada di hadapanku. Di stasiun kereta ini aku merasa tenang karena tidak berjumpa dengan satu orangpun yang aku kenali. Inilah saatnya memulai hidup baru di sebuah kota yang yang kubaca dari internet akan memberikan ketenangan dan kenyamanan dari riuhnya kota tempatku dilahirkan. Aku menatap langit sore yang indah, ditambah dengan warna jingga sunset di tepi pantai karena stasiun itu berada dekat dengan pantai. Langit jingga seolah menyapa dan menyambutku dengan hangat, lihat saja matahari yang hampir terbenam pun seolah senyum ke arahku. Nama kota ini memang sangat tidak sesuai dengan pemandangan yang kulihat. Kota mati, siapapun orang pasti akan mengira kata kota mati itu bermakna kota yang tak berpenghuni. Tapi lain halnya dengan kota mati yang yang satu ini. Kota mati adalah kota yang maju dan terlihat akan menyenangkan.

***

BRUKKK!!!

Aku berlari menuju jendela kamar hotel tempatku menginap. Di sana kulihat pemandangan yang kurang menyenangkan. Di luar sedang terjadi kecelakaan. Mobil itu menabrak seorang ibu-ibu yang hendak menyeberang jalan. Namun anehnya tak ada satupun yang peduli dan menolong ibu itu. Mereka semua yang berada di luar tetap melanjutkan aktifitas masing-masing. Aku menghela napas, kuusap beberapa kali mata, lalu kembali menatap pemandangan di luar jendela. Kendaraan terus berlalu-lalang, memang tidak ada satupun yang membantu. 

Seketika aku teringat akan keadaanku di kota sebelumnya. Aku juga salah satu manusia yang sering mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan dari orang lain. Aku tersenyum dan beralih menatap ibu yang tergeletak itu, entah sudah habis nafasnya entah belum, yang pasti aku tiba-tiba dibuat tersenyum.

"Sepertinya di kota ini aku tidak akan merasa jahat karena mengabaikan orang yang tersakiti, toh di kota sebelumnya aku adalah korban dan tak pernah ada satupun orang yang peduli," ucapku monolog. 

Aku berjalan menuju lemari pakaian, hari ini kuputuskan untuk jalan-jalan menikmati kota baruku. Permasalahan tadi, ah sudahlah, sudah kuanggap hal biasa saja karena hal itu juga kerap terjadi padaku. Meskipun nuraniku seolah menjerit menyuruhku untuk menghampiri ibu itu, lagi-lagi kutahan. Berhentilah peduli dengan orang lain yang bahkan tak akan pernah mempedulikanku. 

***

"Kopi hangatnya satu, Mbak."

"Ya."

Aku sedikit terkejut mendengar respon judes penjual minuman di restoran ini. Ah, sudahlah, mungkin dia memang seperti itu. Kuabaikan saja hal itu, dan mengeluarkan beberapa lembar rupiah untuk membayar. 

"Di sini harus menggunakan uang pas," ucapnya lagi.

Aku menghela napas, sepertinya aku masih perlu menyesuaikan diri dengan kota ini. 

Aku duduk dibangku pojok. Kulihat sekeliling, aku memang sangat dibuat takjub oleh pernak-pernik restoran ini, namun beberapa kali juga merasa aneh dengan penduduk yang ada di sini. Contohnya saja di restoran besar ini. Banyak sekali pengunjungnya, baik yang sedang menyelesaikan pekerjaan atau bahkan sekadar duduk santai dengan keluarga ataupun pasangan. Anehnya bukan di situ, tapi yang aneh menurutku mengapa tak ada satupun dari mereka yang terlihat bersenda gurau, bermesraan, atau paling tidak mengobrol. Bagiku itu sangat aneh. Apakah orang di sini bisu atau tuli atau bagaimana, pikirku. Tidak ada kehangatan yang aku rasakan di sini. Mereka saling berjumpa, duduk bersama, namun sibuk dengan gawainya masing-masing. Apakah setidak penting itu pertemuan bagi mereka. 

"Ini kopinya."

"Terima kasih, Mbak."

Dia berlalu tanpa menjawab ucapan terima kasihku, ia menaruh kopi di atas meja tanpa menatapku, tanpa senyum sedikitpun. Aku memang sedang mengharap ketenangan, tapi bukan ketenangan ini yang aku maksud. Mungkin ini hanya karena belum terbiasa, nanti juga nyaman, pikirku lagi. Kubuang semua pikiran itu, perlahan menyeruput kopi hitam di atas meja. 

***

Siang ini, aku berjalan dengan senyum yang selalu terukir di bibirku. Aku ingin menikmati kesendirian tanpa kenal dengan siapapun. Di tengah keramaian kota, aku lihat seorang kakek yang sedang berseteru dengan seseorang. Kupercepat langkah menuju kakek itu. 

DEG!

Aku terdiam. Senyum yang dari tadi terukir, perlahan redup dari bibirku. "Ada apa sebenarnya dengan kota ini?" batinku. 

"Mau kemana Anda?" tanya lelaki paruh baya di sampingku.

"Eum, Pak." 

"Anda orang baru di kota ini?" ucap lelaki itu lagi.

"Iya, Pak. Tapi ada yang aneh dari kota ini, apa betul?"

"Tidak. Anda yang aneh."

"Hah, maksudnya? Saya masih heran kenapa seolah di kota ini tidak ada keramahan dan terlihat semuanya tidak peduli dengan orang lain? Tadi pagi saya melihat kecelakaan tapi tak ada yang menolong. Baru saja saya melihat kejadian yang lebih aneh lagi. Kenapa tak ada satupun orang yang menolong kakek itu, dia ditikam loh, ditikam. Sampai berdarah-darah seperti itu dibiarkan saja tergeletak hingga tak lagi bernapas."

Lelaki itu tersenyum seraya berkata, "Pergilah dari sini! Ini bukan kotamu. Pergilah sebelum engkau menyesal wahai anak muda."

Lelaki itu berlalu meninggalkanku tanpa kembali menjelaskan apa maksud dirinya menyuruhku pergi. Aku ingin menikmati kota ini. Aku ingin terbiasa dengan hal ini, aku ingin menjadi orang yang tidak peduli dengan sekitar, kurasa kota mati ini seperti itu. Aku ingin mengabaikan tanpa merasa telah berbuat jahat. 

***

Malam ini, aku masih berada di luar. Duduk seorang diri di taman. Sudah tiga hari tak terasa aku berada di kota mati ini. Banyak sekali kejadian yang rasanya merusak jiwaku. Aku terus dihantui rasa bersalah. Aku mengabaikan setiap kejahatan di depan mataku. Setiap kali aku memaklumi hal tersebut, hati nurani seolah membunuhku secara perlahan dan menyatakan aku adalah orang yang jahat. Sudah beberapa kejadian yang aku lihat, mulai dari kecelakaan, penganiayaan, bahkan juga pembunuhan. Tapi masyarakat sekitar seolah tutup mata dan telinga dengan kejadian itu, mereka tetap beraktifitas seperti tidak terjadi apa-apa, padahal bangkai manusia sudah berserakan dan membusuk di mana-mana. 

PLAKK!!!

"Mati kau!"

Aku menoleh ke arah sumber suara yang terasa sangat dekat. Mataku terbelalak. Kembali kudapatkan pemandangan yang tidak mengenakkan. Kali ini, aku harus melawan logikaku yang berusaha selalu memaklumkan hal itu. Aku bangkit, mencari benda yang mampu melumpuhkan lelaki yang sedang memukul dan mencekik wanita yang aku kira mungkin adalah kekasihnya. 

"Woii! Kau lepaskan dia!

Mereka menoleh, menatapku dengan tatapan heran. Aku tau, mungkin mereka heran karena tiba-tiba ada yang peduli dengan permasalahan orang lain.

"Anda siapa? Bukan orang sini? Jangan ikut campur!" ucapnya tegas. 

Aku menelan salivaku. Meskipun sebenarnya aku juga sedikit takut, tapi kali ini aku sudah muak. Nyatanya hati nuraniku tidak menerima rencana keinginan untuk menjadi manusia yang tidak peduli. 

"Anda laki-laki, saya laki-laki. Saya tidak takut! Lepaskan dia!"

BUGH!

BUGHH!!!

BUGH!!!

***

"MAHESA! BANGUN!"

Aku membuka mata. Perlahan menyesuaikan dengan cahaya ruangan persegi yang sangat aku kenali sekali. Aku menatap seseorang yang berdiri dengan membawa gayung berisikan air dingin yang mampu membuatku kaget dan seketika langsung terbangun. Apa? Terbangun?

"Ma, kenapa aku di sini?" tanyaku heran.

"Memangnya mau di mana lagi?" ujar wanita yang berada di depanku.

"Mahesa tadi lagi bertarung, Ma. Mahesa membela wanita yang sedang dianiaya kekasihnya, aku lagi di kota mati tadi, Ma," ujarku meyakinkan.

Mama menggeleng. "Kamu mimpi! Mana ada kota mati. Sudah, jangan aneh-aneh, mandi sana, sebentar lagi mau magrib."

Aku masih terdiam. Mimpi itu terasa nyata. Ini aku yang bermimpi atau  mama yang tidak tau. Sudahlah, aku bersyukur bisa kembali ke kota asliku. Lelah rasanya batinku berada di kota mati itu. Kota mati bukan kotanya tak berpenghuni atau tidak maju, tapi hati penduduknya yang sudah lama mati. Mungkin kota mati memang di mimpiku, tapi aku juga bersyukur dengan adanya kejadian itu aku bisa jadi lebih menghargai setiap manusia yang ada di bumi ini. Ya, meskipun terkadang aku mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan, namun tak ada yang peduli, tapi setidaknya aku masih punya keluarga yang peduli padaku. Dan perlakuan orang lain itu tak boleh merubahku menjadi orang yang bodo amat dengan sekitar. 

Aku duduk dan bergegas menuju kamar mandi. Tidur seharian ternyata juga sangat melelahkan dan cukup membuat badanku terasa remuk. 

Triiing! Triiing!

Aku menoleh ke nakas di samping kasur. Kudapati ponsel berdering dengan nomor tak dikenal tertera di layar ponsel. 

"Hallo!"

"Hallo. Bagaimana keadaan kamu?" 

Aku masih diam, kutatap layar ponsel itu. "Maaf, Anda siapa?"

"Saya wanita yang kau tolong dari kota mati."

Mataku terbelalak, keringat dingin bercucuran di tubuhku. Ini sebenarnya ada apa. Sebenarnya siapa yang sedang bermimpi?