Lautan Jiwa Arsya 

Fathia Sastra Zulfi (23017049)

Suara deringan jam kembali memekakkan gendang telingaku, berbarengan dengan  suara azan yang menggema di seluruh pelosok kota. Aku masih berkutik pada layar laptopku,  mungkin jam malamku sudah terkuras habis hanya dengan melihat layar yang berukuran 18  inci ini. Suara ketikan-ketikan yang membentuk nada indah seketika menghilangkan rasa  kantuk ku, ditemani oleh segelas kopi hangat yang begitu lezat.  

Seketika matahari muncul di peredaran, yang membuatku sadar bahwa malam tadi aku  tidak tertidur, dan aku langsung bergegas untuk pergi ke kantorku. Suara notifikasi pesan  memecahkan lamunanku, perasaan itu tiba-tiba muncul kembali, aku sangat benci situasi ini. 

Waktu berputar begitu cepat, tapi masih banyak yang harus aku selesaikan, ide dalam  pikiranku banyak, tetapi dimana harus kuletakkan sedangkan otakku saat ini enggan untuk bersahabat. “Arsya, hari ini kami harus meliput berita seputar apa isu-isu terkini, saya akan menunggu tulisan kamu malam ini.” Ucap seseorang dalam telepon yang kugenggam, lalu beliau  memutuskan telepon secara sepihak. 

Sudah satu minggu aku selalu pulang larut malam, saat otak tidak bisa lagi menguasai  tubuh, suara dengungan dan ketikan itu selalu menemaniku seolah mereka ingin berbicara kepadaku. Pukul 5 biasanya satu persatu teman kantorku pulang sudah ada yang menunggunya di rumah, entah itu orang tua atau mungkin keluarga kecilnya, entahlah aku juga  tidak peduli hal itu. Biar aku saja disini, biasanya aku lebih genius ketika tidak ada siapapun  di ruangan ini, keberadaan mereka seperti menyedot seluruh energiku, baiklah aku mulai  mengerjakan tulisanku ini. 

Tanpa keluarga membuatku kelihatan lemah, kadang aku merasa membutuhkan  mereka, bagaimana denganku? Ya, tidak ada yang menanti keberadaanku.  

Tiba-tiba aku teringat satu hal, aku belum mengecek tulisan yang aku buat di kantor  tadi, dengan bantuan kacamata, aku kembali membaca ulang tulisanku ini, lembaran demi  lembaran sudah kubaca, bahkan aku tidak melewatkan satu huruf di tulisanku itu, bagaikan awan disambar petir, tiba-tiba memori itu menghampiriku, perasaan lemas, khawatir  bercampur aduk disana. Aku pun bergegas mengambil buku lain, entah apa yang terjadi  kepadaku, tanpa disadari aku mengambil buku diaryku di rak buku yang tersusun rapi, memori itu kembali menguasai isi kepalaku.  

“Ibu, saya menyesal tidak memiliki waktu lebih banyak untuk saling mengenal, disisi  lain saya bersyukur diberi kesempatan bersama-sama dulu.” Entah pikiran apa yang  menghantuiku, tetapi semua terasa gelap.  

Aku mulai menyiapkan sarapan pagiku, suapan demi suapan masuk kedalam mulutku,  aku harus makan banyak-banyak untuk menambah energiku saat dikantor nanti. Sendiri di pagi  ini, sendiri, sendiri, dan lagi, selalu kucoba untuk berdamai dengan keadaan. Tenggelam,  semakin lama jauh tak tau ujungnya, cahaya itu ingin kugapai permukaan, tapi arus ini terasa  lebih dominan. Aku sekarang sudah berada di kantor tempatku bekerja, lembaran demi  lembaran kembali kuperiksa untuk memastikan tidak ada yang terlewat dari artikel yang telah 

kubuat ini. Tiba-tiba mataku tertuju pada kalender yang ada di meja kerjaku, lagi dan lagi  perasaan itu datang.  

Apa saja yang kulakukan seminggu ini, rasanya berlari tanpa jeda nafas, membebani  pikiranku, menguras fisikku. Hari ini aku dijadwalkan untuk memberi artikel yang kubuat pada  atasanku, mungkin beliau menganggapku tak pernah waras, aku bukan seperti beliau  bayangkan, aku merasakan sedih dan senang, hanya saja berbeda dari kebanyakan orang. 

Seketika suara pukulan Ayah menguasai gendang telingaku, ia yang selalu menuntutku  untuk selalu melakukan seperti apa yang ia inginkan. Suara dentingan kayu terdengar jelas  ditelingaku, tanpa kusadari aku berteriak di meja kerja atasanku, dan menghempaskan lembaran  artikel yang ada di tanganku, itu berada diluar nalarku, dan aku dipecat saat itu juga. 

Aku tidak terlahir sempurna, bahkan tak senormal mereka yang selalu menganggapku  gila, dan lagi-lagi kepalaku dipenuhi oleh bentakan kedua orang tuaku, suara pertengkaran ibu  dan ayah tak henti hentinya berdengung di telingaku. 

Ibu yang selalu mesra dengan laki-laki lain dan ayah yang jarang dirumah karena  pekerjaannya, mereka selalu bertengkar sejak usiaku 7 tahun. Pada akhirnya orang tuaku  berpisah, aku dititipkan kepada pamanku. Rasanya seperti organisme yang tak pernah berakhir.  Bukan aku, bukan juga kehendak mereka menjadi seperti ini, apakah pencipta menginginkanku  seperti ini? Bukannya aku tidak sadar atas tindakanku, mungkin mudah bagi mereka  mengendalikan emosi, ini berbeda, bagiku ini sangat berat. 

Jika tuhan mengizinkanku untuk terlahir kembali, mungkin aku tidak akan memilih  terlahir sebagai manusia. Ataupun lebih baik mati sebelum mengenal kehidupan ini.  

Setiap waktu kenangan ini menjadi mimpi buruk abadi dalam hidupku. Sejak saat aku  tinggal bersama paman, aku tidak mendapatkan kebahagiaan sedikitpun, aku mendapatkan  kekerasan setiap hari. Aku dijadikan tempat pelampiasan emosi ketika paman kelelahan pulang  bekerja. Bekas- bekas hijau akibat tamparan seperti tato alami yang diberikan oleh pamanku.  Tidak ada seorang pun yang tahu, bahkan kedua orang tuaku tidak peduli akan hal itu. 

Memaafkan adalah hal tersulit didunia, memaafkan seluruhnya dengan tulus ikhlas,  karena tidak ada seorangpun didunia ini yang ingin hidupnya disakiti. Lari dari keadaan dan  masalah, bingung bagaimana menghadapinya. Sejak kecil aku tidak memiliki siapapun, tidak  ada teman yang mendengarkan celotehku, bahkan mereka lebih sering menertawaiku.  

“Gila!” “Aneh dasar!” 

“Orang gila lagi kumat ya? Menyusahkan orang!”  

“Berobat sana! Dasar tidak punya orang tua pantas tidak punya attitude.”  

Umpatan-umpatan itu kembali terngiang di kepalaku. Entah setan apa yang telah  merasuki isi kepalaku, lagi-lagi aku berteriak seperti orang gila, berharap ingatan-ingatan  tentang memori itu terhapus permanen diisi kepalaku.  

Ketika seseorang menyakitimu, maka kamu membutuhkan tempat untuk berbagi kisah,  pada siapa aku berbagi, aku merindukan sosok orang tua, nyaris 19 tahun aku hidup tanpa  perhatian dan kasih sayang mereka. Aku lupa bagaimana rasanya diperhatikan.

Bayangan gelap itu terus berputar di kepalaku, aku ingin normal seperti yang lain,  depresi ini sangat mengekangku, terkurung di dalam emosi tak sanggup ku capai permukaan,  semua akan berproses, dia datang dan pergi tak menentu. Aku hanya benci merasakan perasaan  ini setiap hari.  

Kegagalan bukan hal biasa yang dapat aku terima begitu saja, sebenarnya aku sudah  bekerja keras, tapi seolah semua tak ada hasilnya, aku ingin bercerita, mungkin tak akan ada  satupun yang akan paham. Hanya diriku sendiri yang akan mendengar semua keluhanku, bukan  siapa lagi, hanya diriku dan emosiku sendiri.  

Aku tau dan sadar akan semua tindakanku, namun aku tidak sanggup mengendalikan  emosiku, pikiranku kadang buruk, aku juga bisa membaik dalam waktu singkat. Pola  ditanganku ini tidak pernah bisa aku pahami. Ya, aku menderita depresi yang tak pernah aku  temui obatnya.  

Sekarang episode depresi, tidak bisa berkata-kata, hampa, putus asa, tidak berharga dan  tidak ada yang peduli, berkali-kali aku berusaha menyakiti diri sendiri dan mengakhiri hidup,  tapi aku berusaha bangkit. Aku yakin bahwa akan selalu ada cahaya diujung terowongan. Ada  satu hal yang terus mondar mandir di kepalaku, adalah bagaimana aku mengakhiri hidup ini.  Bukan masalah iman ataupun kau telah bersedih karena kehilangan sesuatu. Siapapun bisa  mengalaminya. 

Emosi dan suasana hati bukanlah hanya sebuah ilusi, mereka nyata, tidak ada  seorangpun yang pantas dihakimi, karena setiap emosi mempunyai ceritanya tersendiri.  Beruntung jika ada seseorang yang menyadari keberadaanmu. Dan hal yang paling sulit disaat  diri ini harus memilih untuk meminta bantuan atau mengakhiri hidup. 

Trauma dimasa lalu membuat ku bagai boneka yang dijalankan oleh semesta, aku tidak  dapat bergerak seperti manusia pada umumnya, gangguan ini membuat ku sedikit kehilangan  akal sehat.  

Aku pikir gangguan ini benar-benar hilang disaatku tidur nanti, tapi ternyata tidak. Ini  seperti sel kanker yang tidak pernah benar- benar hilang dari inangnya. Beraktivitas pun sangat  sukar untuk dilakukan. Itu juga yang dilakukan orang lain untuk merasa hidup. Tapi tidak  denganku yang malah mati seolah berjalan tanpa menginjak bumi. Ini hanya tubuh tanpa jiwa.  

Satu hal yang kubenci dengan situasi ini. Setiap kali aku tertidur, aku harus mengalami  mimpi yang berbeda setiap hari, dan saatku terbangun aku harus mengulangi hari-hari yang  sama seperti sebelumnya.  

Lambat laun waktu berjalan, sekarang aku sadar, kadang apa yang kita impikan dan apa  yang kita harapkan itu tidak sesuai dengan kenyataan dan itu bukan suatu alasan untuk kita  kehilangan harapan. Aku yakin kamu atau aku pasti punya masalah, kita semua punya masalah  yang berbeda-beda. Tetapi, aku yakin kita bisa melewati ini bersama.  

Dokterlah yang mengubah caraku memandang hidup. Seminggu yang lalu aku pergi ke  psikiater untuk memeriksa keadaanku. Kata- kata dokter membuatku tersadar dan mulai  melihat diriku versi lain disana. Setelah konsultasi ke psikiater, aku lebih menghargai hidup.  Aku mulai bersosialisasi seperti manusia pada umumnya. 

Orang yang memiliki gangguan sepertiku ini, mereka hanya ingin didengar, dan jangan  pernah menghindari mereka, mereka sama seperti kita pada umumnya, hanya saja mereka itu  istimewa, rangkul mereka dengan kasih sayang, hadapi mereka dengan sabar, dan yakin kan  mereka itu berharga. Dan sekarang aku pun menyadari bahwa hidup ini sulit. Tidak semua  permasalahan dapat dipecahkan dalam waktu yang singkat. Semua membutuhkan waktu.  

Pendapat orang lain tidak akan menggangguku. Statusku pun demikian. Masa laluku  tidak menjadikan siapa diriku sekarang. Waktu akan terus berjalan dan tidak akan dapat  diputar. Masa silamku sudah berlalu. Depresiku, tidak akan menghilang begitu saja, tetapi aku  pun tidak akan membiarkannya menentukan siapa diriku ataupun merenggut jiwaku lagi.  Depresi ini akan terus menjadi bagian dari kehidupan, untuk mengingatkan betapa bodoh dan  lemahnya aku dahulu. Namun sekarang aku yakin telah mengatasinya dengan baik. Depresi ini  yang menjadikanku lebih menghargai hidupku. Aku telah berdamai dengan diriku. 

Sekarang umurku sudah menginjak dewasa, aku mulai membenahi diriku yang baru,  aku menemukan arsya yang baru dalam diriku. Aku tidak akan membiarkan masa-masa itu  menghantui kehidupanku lagi. Aku mulai menjalankan aktivitas layaknya manusia pada  umumnya. Aku mulai mencari pekerjaan dan berpikir untuk melanjutkan kehidupan yang baik,  aku sudah lama tidak tinggal bersama paman. Aku memilih untuk ngekos dan menjalankan  hidupku seorang diri. Dengan cara ini mungkin aku tidak akan mengingat hal-hal kelam di masa  lalu. Dan disinilah perjalanan baruku dimulai…