Pada Waktu yang Membawa Mereka Pergi
Annisa Ratu Wulandari (21016007)
Malam semakin larut dan udara pun semakin dingin, disertai angin yang menampar lembut pipiku. Melewati lorong-lorong gelap sudah menjadi kebiasaanku setiap malam, sepulang bekerja. Tinggal belok ke kanan menuju lorong yang lebih sempit lagi, akan tampak di ujung gang berdiri sebuah rumah kecil yang agak kumuh. Itu rumahku. Rumah tempat berpulang dan mengistirahatkan diri sejenak seusai letih bekerja. Dengan menggenggam kantong kresek berisi makanan, kini aku telah berdiri di depan rumah kecil nan sederhana, lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
"Asih, kamu sudah makan? Kalau belum ayo makan, nanti kamu sakit. Kalau sakit, siapa yang jagain Alya?" Suara itu samar-samar terdengar dari arah kamar depan, saat aku akan membuka pintu. Itu kamar ayahku.
Aku hanya menghela napas berat. Sejenak terlintas di kepalaku, sesuatu di masa lampau dimana semuanya masih baik-baik saja. Disaat waktu sedang berbaik hati padaku. Tepatnya pada kehidupanku.
Aku yang seorang gadis berusia tujuh belas tahun, yang seharusnya di umur demikian aku masih merasakan nikmatnya kasih sayang dari keluarga yang utuh. Tapi, entah kenapa hal tersebut hanya segelintir yang dapat aku nikmati. Waktu begitu cepat berlalu, tidak mau menungguiku sampai aku benar-benar siap akan kerasnya hidup.
Aku berjalan mengendap menuju kamar ayah dengan niat hati memberikan kantong kresek berisi makanan yang kubeli di pinggir jalan tadi. Isinya nasi goreng. Dulu, ayah senang sekali dengan nasi goreng buatan ibu.
"Asih... Kamu tahu, Alya sudah besar sekarang? Kenapa kamu tega meninggalkannya?" Ku dengar ayah berkata dengan nada serak, kemudian ia menangis terisak memukul-mukul dinding dihadapannya. Ya, ayah sedang berbicara dengan tembok kosong yang dipajangi gambar seorang wanita dengan pakaian kemeja putih. Itu adalah gambar ibu.
Berselang dua tahun kepergian ibu, keadaan ayah tak kunjung membaik. Ayah sangat mencintai ibu. Setiap malam, ayah akan selalu berbicara dengan dinding dihadapannya yang
dipajangin bingkai foto berukuran minimalis, seolah saja ibu ada disana. Sebenarnya, perih melihat ayah yang demikian. Setiap malam dia akan berbicara sendiri, teriak, lalu menangis, dan memukul-mukul tembok. Terkadang aku berpikir, apa ayah tidak ingat jika ia masih punya anak yang harus dia perhatikan, yaitu aku?
Namun sekali lagi, aku hanya bisa diam dan pasrah. Lalu kutegarkan hati dan berjongkok di samping ayah. Ayah tak menggubrisku, seolah menganggap aku tidak ada dalam ruangan itu. Ia masih memandangi tembok dinding itu dengan wajah sendu dan kelelahan.
"Ayah... Alya bawakan nasi goreng. Dimakan, ya?" Ucapku sambil menaruh kantong kresek berisi makanan ke tangan ayah. Ayah tetap diam tak merespon. Aku tahu, ayah tidak akan lagi memberikan jawabannya walau hanya sekedar ucapan 'terimakasih'. Lalu, aku pergi berjalan melangkah keluar dari kamar ayah menuju kamarku.
Kini, aku merebahkan tubuh di kasur dengan menengadahkan wajah ke langit-langit kamar sembari menerawang seisi kamar. Tidak pernah ada yang berubah dari semenjak dua tahun yang lalu. Perhatianku tertuju pada sebuah foto di meja, disamping tempat tidur. Kuraih foto dengan bingkai dari kayu yang ukirannya sangat indah itu. Dulu bingkainya ayah yang membuatkan. Lalu dipajangi foto keluarga yang sedang tertawa satu sama lain.
Di dalamnya ada aku, ayah, ibu, Freya, dan bang Danu. Masa itu adalah kenangan manis beberapa tahun lalu, sebelum semuanya sirna. Sebelum semuanya perlahan pergi meninggalkan aku dan ayah. Pertama bang Danu, yang meninggal karena di begal. Aku kehilangan sosok abang yang hebat, yang selalu mengingatkanku supaya jangan malas belajar.
Dia juga yang kadang membujukku makan saat maagku kambuh.
Semenjak kejadian itu, ayah dan ibu lebih sering mengawasi anak-anaknya, seperti mengantar jemput aku dan Freya jika sekolah atau keluar rumah. Saat itu, bahagia rasanya punya orang tua yang begitu perhatian pada anaknya. Kami merasa terlindungi. Namun, semua perhatian itu telah hilang dan lenyap dua tahun lalu. Saat ibu mengantar Freya ke sekolah, motor yang dikendarai ibu ditabrak truk tangki minyak. Ibu meninggal saat akan dilarikan ke rumah sakit. Sementara Freya beberapa hari setelahnya.
Mendengar kabar yang amat memilukan hati itu, ayah langsung tak sadarkan diri sementara aku shock berat. Beberapa bulan setelah kepergian ibu dan Freya, ayah jadi uring-
uringan, sering pergi kelayapan entah kemana lalu pulang saat hampir menjelang malam dan sering bicara pada dirinya sendiri.
TRAAAKKKK!! Bunyi benda jatuh dan pecah, itu dari kamar ayah. Aku segera bergegas keluar menuju kamar depan dan benar saja, kudapati ayah yang sudah berlumuran darah di tangannya akibat pecahan kaca yang bertebaran di lantai. Ayah memecahkan foto ibu.
"Ayaaahhhh...." Teriakku ketika melihat ayah memukul-mukul dirinya sendiri. Aku segera berlari ke arah ayah sebelum ia lebih jauh menyakiti dirinya sendiri.
"Ayah hentikan!" Bentakku saat ayah semakin mengamuk dan meraung. Kupegangi tangan ayah yang dengan erat, supaya ia berhenti memukul dirinya sendiri.
Tangan ayah yang dulu kekar, kini terasa lemas, lunglai, dan tak berdaya. Kulihat pula wajah ayah yang sudah lelah dengan kehidupan yang dijalaninya. Butiran air mata perlahan jatuh di kedua sudut mataku. Melihat kondisi ayah yang kian memburuk. Rasanya aku hampir dihancurkan oleh harapan sendiri. Tiadakah ada harapan untuk ayah kembali seperti dulu lagi?
"Ayaahhh...." Panggilku lirih. Kali ini ayah menoleh ke arahku dengan wajah datar dan sendu. Aku mengusap lembut rambut ayah untuk menenangkannya. Sementara air mata tak berhenti keluar dari pelupuk mataku.
"Ayah jangan begini..." Kali ini aku benar-benar tidak tahan. Air mata mengalir semakin deras.
"Ayah enggak sayang sama Alya?" Ucapku pelan menatap ayah lekat. Sedetik kemudian, ayah menangis sambil menatapku penuh rindu. Kulihat butiran bening itu turun perlahan dari pipinya. Aku mengusapnya.
"Ibu kamu nggak pernah jawab ayah! Setiap ayah nanya dia selalu diam! Bilang ke ibu kamu, ayah rindu. Ayah cuma mau bilang rindu ke ibumu!"
GLEGG! Rasanya ucapan ayah sangat menusuk hati. Tenggorokanku rasanya sesak dan sakit. Sampai kapan ayah akan sadar kalau ibu sudah pergi? Sudah hilang dari dunia ini? Ingin kuteriaki ayah dengan bilang, "Ayah, tolong sadar! Ibu sudah pergi meninggalkan kita! Ibu sudah meninggal!" Tapi aku tak sampai hati dengan melihat kondisi ayah yang sekarang.
Sekali lagi, waktu telah merenggut ayahku. Merenggut jiwa ayahku. Merenggut kebahagiaan ayahku. Ibu adalah kebahagiaan terbesar ayah. Ingin rasanya memutar waktu hingga ke detik waktu dulu, kemudian berhenti selamanya di detik yang tepat. Detik dimana ayah, ibu, aku, bang Danu, dan Freya bersama. Detik dimana keluarga kecil kami masih tertawa riang sambil menonton televisi. Sesaat suasana hening. Nampaknya ayah sudah mulai tenang. Lalu, kubereskan pecahan kaca yang berserakan di lantai.
"Freya sudah tidur, ya?" Pertanyaan ayah cukup menampar hatiku. Entah kenapa sangat pilu begitu mendengar kalimat ayah barusan. Lalu aku menoleh pada ayah kemudian mengangguk kecil. Kulihat ayah tersenyum tipis namun matanya masih sembab dan raut wajah yang sudah lelah.
Untuk yang keberkian-kalinya aku dipupuskan oleh harapan. Antara senang dan sedih. Senang karena melihat ayah tersenyum barusan meskipun nampak samar-samar. Sedih karena ayah yang menanyakan Freya. Apa selain ayah tidak sadar kalau ibu sudah pergi, ayah juga tidak tahu bahwa Freya juga ikut bersama ibu?
"Freya sudah ikut ibu ke surga, yaahh.." Batinku berkata.
Setiap hari aku harus bangun lebih pagi. Aku bekerja paruh waktu di sebuah rumah makan yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku. Aku menempuhnya dengan jalan kaki. Dilanjutkan dengan kerja membagikan selebaran kepada orang-orang, yaitu brosur sebuah perusahaan jasa tempatku bekerja. Malamnya aku bekerja di cafe. Capek? Iya. Tapi tidak secapek menjalani kehidupan yang harus diperjuangkan seorang diri.
Di Usiaku yang masih seumur jagung ini, seharusnya aku masih berada di bangku sekolah, bermain dengan teman-teman hingga nikmatnya pulang sambil membawa cerita sederhana untuk disampaikan kepada keluarga. Dan untuk kesekian-kalinya aku menyalahkan waktu yang terlalu cepat berlalu, waktu yang tidak mau menungguiku sampai aku benar
benar siap akan kerasnya hidup. Kurasa, waktu memang tak adil dalam membagi kehidupan. Apalah artinya hidup jika hanya berjuang demi diri seorang. Semoga lain kali waktu bisa adil dalam mengisahkan kehidupan. Pada aku dan ayah.
Malam semakin larut dan udara pun semakin dingin, disertai angin yang menampar lembut pipiku. Melewati lorong-lorong gelap sudah menjadi kebiasaanku setiap malam, sepulang bekerja. Tinggal belok ke kanan menuju lorong yang lebih sempit lagi, akan tampak di ujung gang berdiri sebuah rumah kecil yang agak kumuh. Itu rumahku. Rumah tempat berpulang dan mengistirahatkan diri sejenak seusai letih bekerja. Dengan menggenggam kantong kresek berisi makanan, kini aku telah berdiri di depan rumah kecil nan sederhana, lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
"Asih, kamu sudah makan? Kalau belum ayo makan, nanti kamu sakit. Kalau sakit, siapa yang jagain Alya?" Suara itu samar-samar terdengar dari arah kamar depan, saat aku akan membuka pintu. Itu kamar ayahku.
Aku hanya menghela napas berat. Sejenak terlintas di kepalaku, sesuatu di masa lampau dimana semuanya masih baik-baik saja. Disaat waktu sedang berbaik hati padaku. Tepatnya pada kehidupanku.
Aku yang seorang gadis berusia tujuh belas tahun, yang seharusnya di umur demikian aku masih merasakan nikmatnya kasih sayang dari keluarga yang utuh. Tapi, entah kenapa hal tersebut hanya segelintir yang dapat aku nikmati. Waktu begitu cepat berlalu, tidak mau menungguiku sampai aku benar-benar siap akan kerasnya hidup.
Aku berjalan mengendap menuju kamar ayah dengan niat hati memberikan kantong kresek berisi makanan yang kubeli di pinggir jalan tadi. Isinya nasi goreng. Dulu, ayah senang sekali dengan nasi goreng buatan ibu.
"Asih... Kamu tahu, Alya sudah besar sekarang? Kenapa kamu tega meninggalkannya?" Ku dengar ayah berkata dengan nada serak, kemudian ia menangis terisak memukul-mukul dinding dihadapannya. Ya, ayah sedang berbicara dengan tembok kosong yang dipajangi gambar seorang wanita dengan pakaian kemeja putih. Itu adalah gambar ibu.
Berselang dua tahun kepergian ibu, keadaan ayah tak kunjung membaik. Ayah sangat mencintai ibu. Setiap malam, ayah akan selalu berbicara dengan dinding dihadapannya yang
dipajangin bingkai foto berukuran minimalis, seolah saja ibu ada disana. Sebenarnya, perih melihat ayah yang demikian. Setiap malam dia akan berbicara sendiri, teriak, lalu menangis, dan memukul-mukul tembok. Terkadang aku berpikir, apa ayah tidak ingat jika ia masih punya anak yang harus dia perhatikan, yaitu aku?
Namun sekali lagi, aku hanya bisa diam dan pasrah. Lalu kutegarkan hati dan berjongkok di samping ayah. Ayah tak menggubrisku, seolah menganggap aku tidak ada dalam ruangan itu. Ia masih memandangi tembok dinding itu dengan wajah sendu dan kelelahan.
"Ayah... Alya bawakan nasi goreng. Dimakan, ya?" Ucapku sambil menaruh kantong kresek berisi makanan ke tangan ayah. Ayah tetap diam tak merespon. Aku tahu, ayah tidak akan lagi memberikan jawabannya walau hanya sekedar ucapan 'terimakasih'. Lalu, aku pergi berjalan melangkah keluar dari kamar ayah menuju kamarku.
Kini, aku merebahkan tubuh di kasur dengan menengadahkan wajah ke langit-langit kamar sembari menerawang seisi kamar. Tidak pernah ada yang berubah dari semenjak dua tahun yang lalu. Perhatianku tertuju pada sebuah foto di meja, disamping tempat tidur. Kuraih foto dengan bingkai dari kayu yang ukirannya sangat indah itu. Dulu bingkainya ayah yang membuatkan. Lalu dipajangi foto keluarga yang sedang tertawa satu sama lain.
Di dalamnya ada aku, ayah, ibu, Freya, dan bang Danu. Masa itu adalah kenangan manis beberapa tahun lalu, sebelum semuanya sirna. Sebelum semuanya perlahan pergi meninggalkan aku dan ayah. Pertama bang Danu, yang meninggal karena di begal. Aku kehilangan sosok abang yang hebat, yang selalu mengingatkanku supaya jangan malas belajar.
Dia juga yang kadang membujukku makan saat maagku kambuh.
Semenjak kejadian itu, ayah dan ibu lebih sering mengawasi anak-anaknya, seperti mengantar jemput aku dan Freya jika sekolah atau keluar rumah. Saat itu, bahagia rasanya punya orang tua yang begitu perhatian pada anaknya. Kami merasa terlindungi. Namun, semua perhatian itu telah hilang dan lenyap dua tahun lalu. Saat ibu mengantar Freya ke sekolah, motor yang dikendarai ibu ditabrak truk tangki minyak. Ibu meninggal saat akan dilarikan ke rumah sakit. Sementara Freya beberapa hari setelahnya.
Mendengar kabar yang amat memilukan hati itu, ayah langsung tak sadarkan diri sementara aku shock berat. Beberapa bulan setelah kepergian ibu dan Freya, ayah jadi uring-
uringan, sering pergi kelayapan entah kemana lalu pulang saat hampir menjelang malam dan sering bicara pada dirinya sendiri.
TRAAAKKKK!! Bunyi benda jatuh dan pecah, itu dari kamar ayah. Aku segera bergegas keluar menuju kamar depan dan benar saja, kudapati ayah yang sudah berlumuran darah di tangannya akibat pecahan kaca yang bertebaran di lantai. Ayah memecahkan foto ibu.
"Ayaaahhhh...." Teriakku ketika melihat ayah memukul-mukul dirinya sendiri. Aku segera berlari ke arah ayah sebelum ia lebih jauh menyakiti dirinya sendiri.
"Ayah hentikan!" Bentakku saat ayah semakin mengamuk dan meraung. Kupegangi tangan ayah yang dengan erat, supaya ia berhenti memukul dirinya sendiri.
Tangan ayah yang dulu kekar, kini terasa lemas, lunglai, dan tak berdaya. Kulihat pula wajah ayah yang sudah lelah dengan kehidupan yang dijalaninya. Butiran air mata perlahan jatuh di kedua sudut mataku. Melihat kondisi ayah yang kian memburuk. Rasanya aku hampir dihancurkan oleh harapan sendiri. Tiadakah ada harapan untuk ayah kembali seperti dulu lagi?
"Ayaahhh...." Panggilku lirih. Kali ini ayah menoleh ke arahku dengan wajah datar dan sendu. Aku mengusap lembut rambut ayah untuk menenangkannya. Sementara air mata tak berhenti keluar dari pelupuk mataku.
"Ayah jangan begini..." Kali ini aku benar-benar tidak tahan. Air mata mengalir semakin deras.
"Ayah enggak sayang sama Alya?" Ucapku pelan menatap ayah lekat. Sedetik kemudian, ayah menangis sambil menatapku penuh rindu. Kulihat butiran bening itu turun perlahan dari pipinya. Aku mengusapnya.
"Ibu kamu nggak pernah jawab ayah! Setiap ayah nanya dia selalu diam! Bilang ke ibu kamu, ayah rindu. Ayah cuma mau bilang rindu ke ibumu!"
GLEGG! Rasanya ucapan ayah sangat menusuk hati. Tenggorokanku rasanya sesak dan sakit. Sampai kapan ayah akan sadar kalau ibu sudah pergi? Sudah hilang dari dunia ini? Ingin kuteriaki ayah dengan bilang, "Ayah, tolong sadar! Ibu sudah pergi meninggalkan kita! Ibu sudah meninggal!" Tapi aku tak sampai hati dengan melihat kondisi ayah yang sekarang.
Sekali lagi, waktu telah merenggut ayahku. Merenggut jiwa ayahku. Merenggut kebahagiaan ayahku. Ibu adalah kebahagiaan terbesar ayah. Ingin rasanya memutar waktu hingga ke detik waktu dulu, kemudian berhenti selamanya di detik yang tepat. Detik dimana ayah, ibu, aku, bang Danu, dan Freya bersama. Detik dimana keluarga kecil kami masih tertawa riang sambil menonton televisi. Sesaat suasana hening. Nampaknya ayah sudah mulai tenang. Lalu, kubereskan pecahan kaca yang berserakan di lantai.
"Freya sudah tidur, ya?" Pertanyaan ayah cukup menampar hatiku. Entah kenapa sangat pilu begitu mendengar kalimat ayah barusan. Lalu aku menoleh pada ayah kemudian mengangguk kecil. Kulihat ayah tersenyum tipis namun matanya masih sembab dan raut wajah yang sudah lelah.
Untuk yang keberkian-kalinya aku dipupuskan oleh harapan. Antara senang dan sedih. Senang karena melihat ayah tersenyum barusan meskipun nampak samar-samar. Sedih karena ayah yang menanyakan Freya. Apa selain ayah tidak sadar kalau ibu sudah pergi, ayah juga tidak tahu bahwa Freya juga ikut bersama ibu?
"Freya sudah ikut ibu ke surga, yaahh.." Batinku berkata.
Setiap hari aku harus bangun lebih pagi. Aku bekerja paruh waktu di sebuah rumah makan yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku. Aku menempuhnya dengan jalan kaki. Dilanjutkan dengan kerja membagikan selebaran kepada orang-orang, yaitu brosur sebuah perusahaan jasa tempatku bekerja. Malamnya aku bekerja di cafe. Capek? Iya. Tapi tidak secapek menjalani kehidupan yang harus diperjuangkan seorang diri.
Di Usiaku yang masih seumur jagung ini, seharusnya aku masih berada di bangku sekolah, bermain dengan teman-teman hingga nikmatnya pulang sambil membawa cerita sederhana untuk disampaikan kepada keluarga. Dan untuk kesekian-kalinya aku menyalahkan waktu yang terlalu cepat berlalu, waktu yang tidak mau menungguiku sampai aku benar
benar siap akan kerasnya hidup. Kurasa, waktu memang tak adil dalam membagi kehidupan. Apalah artinya hidup jika hanya berjuang demi diri seorang. Semoga lain kali waktu bisa adil dalam mengisahkan kehidupan. Pada aku dan ayah.
0 Comments
Posting Komentar