SEBATANG
BAMBU
Amelia Yuniza Putri (
Di
Sore hari yang cerah, terdapat sekelompok anak-anak desa yang asik bermain
layangan. Masyarakat menyebutnya "layang-layang darek". Permainan
Tradisional khas Minangkabau ini sudah menjadi kebiasaan anak-anak di desa
tersebut dikarenakan mereka belum dikenalkan dengan gawai atau smartphone oleh
orang tua mereka. Maka tidak heran lagi di desa ini anak-anak selalu memainkan
permainan tradisional. Anak-anak tersebut bukan hanya sekedar bermain, akan
tetapi mereka juga sambil mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba. Setiap hari
ulang tahun desa tersebut, selalu diadakan lomba layang layang dengan tujuan
agar permainan tradisional itu tidak terlupakan dan sudah menjadi tradisi dari
tahun ke tahunnya di desa tersebut.
Perlombaan
layang-layang yang diadakan setiap tahun di desa ini bukanlah sekedar ajang
kompetisi, akan tetapi juga menjadi momen yang paling berharga bagi anak-anak
untuk memupuk rasa persaudaraan. Dalam Persiapan Perlombaan pun mereka tentunya
belajar dalam merakit, dan saat lomba pun mereka tentunya belajar bagaimana
menerbangkan, dan menjaga layangan mereka agar tetap terbang dengan baik.
Selain itu, lomba ini juga menjadi kesempatan bagi orang tua dan tokoh
masyarakat di desa ini untuk turut serta mengajarkan dan mewariskan nilai-nilai
kearifan lokal kepada generasi muda. Dalam Permainan yang penuh semangat ini,
mereka tidak hanya meraih kebahagiaan dari menyaksikan layangan mereka yang
melayang tinggi di langit, tetapi juga merasakan kekuatan kebersamaan dan
kebanggaan akan budaya dan tradisi yang tidak ternilai harganya.
Seorang
anak bernama Ucup sedang duduk bersandar di bawah batang pohon. Ucup merupakan
anak yang penurut dan terkadang juga suka menyendiri. Dia asik sendiri
menyaksikan teman-temannya bermain layangan sambil menikmati jajanannya.
Walaupun tidak ikut bermain, menonton layangan yang indah itu terbang sudah
menyenangkan bagi Ucup ditambah angin sepoi-sepoi yang terasa menyejukkan. Ucup
merasa begitu damai di bawah batang pohon sambil mendengarkan suara gaduh
bahagia teman-temannya bermain layangan.
Ucup
terlihat begitu tenang di bawah pohon rindang itu, bagaikan seorang pengamat
alam yang sangat menghargai keindahan. Meskipun banyak temannya yang suka
bermain dengannya, setiap sore Ucup tetap memilih sendiri untuk merenung agar
dia bisa merasakan kedamaian dalam dirinya. Sambil mengunyah jajanannya, dia
menikmati indahnya layang-layang yang melayang tinggi di angkasa hingga
membawanya berimajinasi tentang kebebasan. Menurutnya, kebahagiaan ibarat
layang-layang yang terbang tinggi, mungkin terlihat sederhana, namun hal
tersebut dapat memberikan arti kebebasan dan kepuasan yang tidak ternilai
harganya. Meski hidupnya tampak sederhana, Ucup tahu bagaimana menemukan
kebahagiaan dalam hal-hal kecil yang terkadang diabaikan orang lain.
Dayat
yang sedang bermain layangan melihat Ucup duduk sendirian di sana. Dayat
menancapkan bambu putaran benang miliknya ke tanah dan langsung menghampiri
Ucup.
"Kamu
ga ikut main? Nggak punya layangan ya? Hahahaha." Ucup menggelengkan
kepala dan tidak menjawab perkataan Dayat sedikitpun karena dia tahu bahwa dia
sedang diejek. Ucup berdiri dan langsung berlari menuju rumahnya dengan
perasaan sedih.
Sesampainya
di rumah, terlihat Kakek yang sibuk membersihkan kandang ayam. Ucup menghampiri
kakeknya.
"Kek,
buatin aku layang-layang darek dong kek!. Aku juga mau main layang-layang
bersama teman-temanku."
"Kamu
kan masih punya sepeda. Main sepeda saja bersama teman temanmu yang lain!"
jawab Kakek.
"Tapi
sepedaku sudah lusuh Kek, sedangkan teman-temanku sepedanya bagus-bagus.
Bagaimana kalau Kakek belikan aku sepeda baru agar aku tidak minta dibuatin
layangan?"
"Syukuri
apa yang ada saja! Untuk makan saja susah apalagi beli sepeda baru," ujar
Kakek dengan nada tinggi.
"Baiklah
kek"
Ucup
pun terdiam dan langsung masuk ke dalam rumah. Ucup merenungi kata-kata
kakeknya di kamar. Dia mulai memahami lebih dalam betapa besar pengorbanan dan
kasih sayang yang diberikan kakeknya selama ini untuk membesarkannya. Ucup pun
merasa bersalah karena telah meminta sesuatu yang aneh, sehingga menyebabkan
kakeknya marah untuk pertama kalinya. Dia memang belum tahu alasan kenapa
kakeknya tidak mau membuatkannya layangan dan mungkin Kakek punya alasan
tersendiri untuk itu. Walaupun terkadang merasa iri dengan teman-temannya yang
memiliki barang- barang mewah, kini Ucup paham bahwa kebahagiaan sejati bukan
hanya sekedar memiliki barang-barang mahal, tetapi bagaimana cara membuat
kakeknya selalu semangat dan tidak marah kepadanya.
Karena
merasa bersalah, Ucup kembali menghampiri kakeknya untuk meminta maaf.
"Kek,
Ucup minta maaf ya Kek. Ucup telah membuat Kakek marah karena permintaan Ucup.
Memang benar kata Kakek, untuk makan saja kita susah apalagi beli sepeda
baru"
"Selagi
masih bisa di pakai, pakai saja dulu. Kalau ada rejeki kita beli." Kakek
kembali tersenyum kepada Ucup. Ucup akhirnya senang bahwa kakeknya tidak marah
lagi kepadanya. Ucup pun akhirnya membantu kakeknya untuk membersihkan kandang
ayam.
Keesokan
harinya, Ucup bermain sepeda bersama teman-temannya. Ucup melewati rumah Dayat
dan melihat Dayat sedang sibuk meraut bambu. Ucup pun berhenti dan menghampiri
Dayat.
"Kamu
mau ikut main sepeda bersama kami?" tanya Ucup dengan sopan.
"Maksudmu apa? Kamu mau mengejekku? Mentang-mentang aku tidak punya
sepeda, kamu malah mengajakku bermain. Sudahlah, pergi sekarang dari
rumahku!," jawab Dayat dengan perasaan marah.
Ucup
pun terheran kenapa Dayat merasa dirinya sedang diejek padahal Ucup hanya ingin
mengajak Dayat bermain sepeda. Ucup pun sebelumnya tidak mengetahui bahwa Dayat
tidak mempunyai sepeda dikarenakan Dayat bukanlah teman dekat Ucup. Karena
merasa diusir, akhirnya Ucup bersama teman temannya pergi meninggalkan Dayat
dan melanjutkan perjalanan mereka.
Ucup
dan teman-temannya merasa lelah keliling-keliling bermain sepeda. Mereka
melihat tempat teduh dan berhenti di sana. Salah seorang teman Ucup
Memperhatikan sepeda Ucup dan berkata bahwa sepeda Ucup sudah sangat jelek dan
menyarankan untuk beli sepeda baru. Ucup terdiam memikirkan kata-kata temannya
tersebut.
"Jika
aku minta ke Kakek, pasti dimarahi lagi, bagaimana ya caranya agar aku dapat
membeli sepeda baru?" ucap Ucup dalam hati. Ucup merasa sedih dengan
perkataan temannya tentang sepedanya itu. Dia memang menyadari bahwa sepedanya
tidak sebagus milik teman-temannya. Tiba-tiba dia mengingat kenangan bersama
ayahnya saat pertama kali belajar main sepeda. Selama ini Ucup juga menjaga
sepeda itu dengan penuh kasih sayang. Ucup akhirnya lega dan tidak ingin
menggantikan sepeda itu selagi masih bisa digunakan.
Seperti
biasa, di sore hari Ucup kembali menyaksikan anak-anak lainnya bermain layangan
sambil menikmati jajanan. Dia memperhatikan cara mereka bermain dengan teliti.
Dia juga penasaran apa bahayanya main layangan sehingga dari dulu dia tidak
pernah dibuatkan layangan oleh kakeknya sendiri.
"Cuman
mengulurkan benang dan melihat layangan terbangapabahayanya main
layangan?"
Pertanyaan
yang selalu ada di pikiran Ucup selama ini belum juga ditemukan jawabannya,
padahal menurutnya bermain layangan tidaklah berbahaya.
Ucup
terus merenungkan pertanyaannya sambil melihat ke langit. "Apasih
bahayanya menerbangkan layang-layang?"
Ucup
merasa banyak temannya yang terlihat senang dan aman saat menerbangkan
layang-layang, namun kenapa kakeknya selalu menolak membuatkan layang-layang.
Ucup merasa ini adalah misteri baginya. Ucup Merasa semakin penasaran dan ingin
mengetahui alasannya. Namun, dia juga tahu bahwa kakeknya selalu punya alasan
kuat atas tindakannya. Ucup memutuskan untuk mencari jawaban dengan bijak yaitu
bertanya dengan hati-hati kepada kakeknya.
Saat
matahari mulai terbenam dan langit berubah jingga, Ucup Tahu Sudah waktunya
pulang. Dia berdiri dari tempatnya bersandar dan mengumpulkan sampah
jajanannya. Setelah selesai mengumpulkan sampah dan membuangnya ke tempat
sampah, Ucup segera meninggalkan tempat itu. Saat melangkah pulang, dalam hati
dia teringat pengalaman indah melihat layang-layang terbang. Dia Menyadari
bahwa meskipun dia mungkin tidak pernah menjadi pemain yang berani, dia akan
selalu menjadi pengagum setia melihat layang-layang terbangdi angkasa dengan
keindahan sederhana yang ditawarkannya.
Keesokan
harinya, di siang hari yang cerah, Ucup merasa ini adalah waktu yang tepat
untuk bertanya kepada kakeknya kenapa kakeknya tidak mau membuatkan
layang-layang dan menanyakan apa bahayanya main layangan. Ucup duduk di sebelah
kakeknya dengan penuh rasa takut dan penasaran. "Kek," katanya
hati-hati.
"Aku
ingin tahu, apakah ada bahayanya menerbangkan layang-layang?Mengapa kita tidak
pernah membuat layang-layang sendiri?" Kakek terdiam sejenak lalu
menjawab.
"Bermain
layang-layang tidaklah bahaya, yang bahaya adalah jika kamu lahir dan meminta
izin kepadaku untuk ikut bertanding" "Tapi aku hanya sekedar ingin
bermain kek bukan bertanding." "Aku tidak yakin. Sudahlah masuk ke
rumah lalu bersihkan tempat tidurmu! Berantakan sekali."
Ucup
tidak menemukan jawaban apa-apa dari kakeknya. Tapi dia tidak menyerah dan
berencana untuk mencari cara supaya kakeknya mau memberitahu apa yang
disembunyikan darinya selama ini. Kini pertanyaan tersebut semakin membuatnya
penasaran dan Ucup tidak bisa tenang sebelum dia mengetahui jawaban pastinya.
"Kenapa
Kakek tidak mau aku ikut lomba?"
"Kenapa
Kakek seolah-olah menyembunyikan sesuatu?." Sore harinya, seperti biasanya
Ucup duduk dibawah pohon rindang menyaksikan teman-temannya bermain
layang-layang. Dengan kegelisahan atas pertanyaan yang tidak mendapat jawaban
dari sang Kakek, Ucup akhirnya mendekati salah seorang di sana.
"Permisi,
bolehkah saya bertanya sesuatu?"
"Mau
tanya apa?"
"Selama
kamu bermain layangan, apakah kamu bisa memberitahuku bahaya bermain
layangan?"
"Menurutku
bermain layangan tidaklah bahaya, justru bermanfaat karena bayangan juga
termasuk olahraga otot."
"Aku
heran kenapa kakekku tidak pernah membuatkanku layangan?" "Kalau itu
aku tidak tahu jawabannya."
Ucup
melihat matahari sudah terbenam dan segera pulang meninggalkan tempat itu. Di
pertengahan jalan, tiba-tiba sepeda Ucup rusak. Roda sepeda Ucup terlepas yang
menyebabkan dia terjatuh. Ucup berusaha berdiri sambil menahan rasa sakit
goresan luka di kulitnya. Perasaannya hancur ketika melihat sepedanya yang
telah rusak dan tidak bisa dia gunakan lagi untuk pulang kerumah.
Sesampainya
di rumah, dia menghampiri Kakek dan menceritakan bahwa dia mengalami kecelakaan
kecil. Kakek panik dan memastikan tubuh cucunya apakah ada yang patah. Kakek
menghela nafas lega karena cucunya hanya luka ringan. Kakek mengambil obat dan
air hangat lalu mengobati luka cucunya itu. Saat kakeknya mengobati luka dia
berkata kepada Kakek.
"Kek,
sepedaku sudah rusak. Aku tidak punya mainan lagi." Kakek merasa sedih
karena tidak bisa memenuhi keinginan cucunya untuk membelikan sepeda. Kakek
hanya bisa diam dan hanya bisa berjanji untuk segera memperbaiki sepeda yang
rusak tersebut.
Keesokan
harinya, seperti biasa Ucup diajak oleh teman-temannya untuk bermain sepeda.
Melihat sepedanya yang telah rusak dan belum sempat diperbaiki. Ucup hanya bisa
menolak keinginan teman-temannya. Teman-teman Ucup dengan raut wajah sedih
hanya bisa pergi meninggalkan Ucup. Mereka Merasa kekurangan dan merasakan hal
yang berbeda jika tidak ada Ucup.
Dua
hari lagi merupakan hari ulang tahun desa dan akan diadakan lomba
layang-layang. Hadiah lomba pada tahun ini cukup besar yaitu sebuah sepeda.
Teman-teman Ucup mengunjungi Ucup ke rumah untuk memberitahukan hal tersebut.
Mereka menginginkan Ucup ikut lomba dengan harapan Ucup Bisa Memenangkan lomba
dan kembali bermain sepeda seperti biasanya. Ucupmengetahui hal tersebut dari
teman-temannya langsung berlari menghampiri kakeknya.
"Kek,
hadiah lomba layang-layang tahun ini sepeda Kek. Ayolah Kek biarkan aku
layang-layang darek yang bagus untuk lomba Kek!" Kakek pun meninggalkan
Ucup tanpa sepatah kata. Tidak lama kemudian, Kakek membawa sebatang bambu.
"Mari
kita buat layang-layang dan ikut lomba!"
Ucup
pun terheran dan tidak menyangka kenapa Kakek tiba-tiba mau memenuhi
permintaannya tersebut.
"Kenapa
Kakek mengizinkan aku ikut lomba dan mau membuatkan layang-layang untukku?
Padahal sebelumnya Kakek tidak mau." "Kakek hanya ingin menepati
janji dengan orang tuamu. Semasa mereka hidup, mereka melarang Kakek untuk
membiarkan kamu ikut bermain layangan.""Kenapa dilarang? Kan tidak
berbahaya."
"Kakek
ingin menceritakan ini dari dulu, tapi kamu belum cukup dewasa untuk mengerti.
Sekarang sudah saatnya kamu mengetahuinya." "Tolong ceritakan!"
"Dahulu,
ayahmu merupakan juara bertahan lomba layang-layang. Suatu Ketika layangan
ayahmu tidak sengaja beradu dengan layangan ayah Dayat temanmu itu sehingga
layangannya putus. Orang-orang menganggap bahwa ayahmu sengaja melakukannya
sehingga ayahmu bertengkar dengan pemuda- pemuda lainnya. Mereka tidak menerima
kemenangan ayahmu." "Jadi, ayahku meninggal karena bertengkar dengan
pemuda-pemuda?" "Bukan, ayahmu meninggal karena sakit."
Hari
ulang tahun desa pun tiba. Semua peserta lomba berkumpul dengan membawa
layangan mereka masing-masing. Ucup dengan bangganya membawa layang-layang
pertamanya berkumpul bersama peserta lainnya. Dayat pun terkejut melihat Ucup
juga mengikuti lomba dan melihat layangan Ucup sangat bagus. Dayat yang
merupakan juara bertahan dari tahun ke tahun itu tidak ingin dikalahkan oleh
Ucup dikarenakan dirinya juga sangat menginginkan hadiah lomba itu. Dayat
memikirkan cara bagaimana supaya Ucup tidak bisa mengalahkan dirinya.
Lomba
pun dimulai. Semua peserta dengan penuh semangat menerbangkan layang-layang
mereka. Dayat mendekati Ucup lalu berkata. "Jangan mimpi kamu akan
menang."
"Kalah
menang itu soal biasa, yang penting sekarang aku berusaha untuk jadi yang
terbaik" jawab Ucup.
"Kenapa
kamu tiba-tiba ikut lomba?"
"Ingin
bersaing denganmu," jawaban Ucup dengan maksud bercanda. Mendengar jawaban
Ucup akhirnya Dayat emosi dan harus menemukan cara agar Ucup bisa kalah.
Dayat
semakin merasa ditantang dengan jawaban santai Ucup tersebut. Ia merasa perlu
menunjukkan dominasinya pada perlombaan kali ini. Dengan Keinginan kuat untuk
membuktikan diri sebagai yang terbaik, Dayat terus memikirkan strategi rahasia
untuk mengalahkan Ucup. Dia mengerti, perlombaan layang-layang memang bukan
hanya tentang fisik yang kuat untuk menahan diri dari terik matahari, tetapi
juga tentang taktik yang benar untuk menjadi pemenang.
Ada
enam belas layangan yang masih bertahan hingga masuk ke babak final termasuk
layangan Dayat dan Ucup. Kakek tidak menyangka cucunya bisa bermain layangan
padahal sebelumnya dia hanya melihat orang-orang bermain layangan.
"Gimana
kek, aku jago kan?"
"Belum,
kamu belum jago" ujar kakek sambil menyemangati.
"Buktinya
aku masuk final"
"Dikatakan
jago main layangan ketika hanya layanganmu yang berada di angkasa."
"Siap
kek, pasti aku bisa."
"Ingat,
bermainlah secara sehat, longgarkan bayangmu ketika layangganmu merasa
terancam."
Lomba
pun terus berlanjut. Enam belas layangan yang masuk ke babak final terus
bersaing untuk menjadi juara. Seiring berjalannya waktu, empat belas layangan
putus dan tinggalah layangan Dayat dan Ucup. Dayat yang tidak ingin Ucup menang
akhirnya mulai melakukan cara yang telah dia pikirkan yaitu membuat layangan
Ucup putus. Tanpa berpikir panjang, Dayat perlahan mendekati layangannya ke
layangan Ucup.
"Kamu
tidak akan menang Ucup."
Saat
layangannya didekatkan ke layangan Ucup, akhirnya cara tersebut gagal sehingga
menyebabkan layangannya tersangkut ke layangan Ucup. Mereka Berdua panik. Dari
kejauhan, Kakek berteriak.
"Salah
satu dari kalian harus ada yang mengalah agar keduanya tidak putus!."
Para
penonton histeris menyaksikan kejadian ini. Mereka terus memberikan semangat
kepada jagoannya. Kakek yang menyaksikan kejadian ini juga ikut panik. Jika
cucunya tidak menang lomba, pasti cucunya akan sedih karena tidak mendapatkan
sepeda dan menyalahkan Kakek karena tidak pernah mengajarkan bermain
layang-layang selama ini. Kakek yang tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa
melihat kepanikan cucunya dari kejauhan sambil berdoa agar diberikan yang
terbaik oleh yang maha kuasa.
Ucup
membayangkan kejadian ini hampir sama seperti yang dialami ayahnya dahulu. Ucup
berpikir, jika dia menang, kemungkinan orang-orang akan menganggapnya curang,
dan dia juga tidak ingin orang lain berprasangka buruk kepadanya atau sampai
mengungkit masa lalu tentang ayahnya itu. Di sisi lain, dia juga berpikir jika
dia melonggarkan benang pasti dia akan menang dan mendapatkan sepeda itu.
Akhirnya Ucup memutuskan untuk mengalah demi nama baik dia dan almarhum
ayahnya. Ucup menggigit benang layangan sampai putus sehingga lilitan benang
tersebut lepas dan layangan Ucup putus terbawa angin. Akhirnya Ucup kalah dan
Dayat pun menjadi juara lagi dalam lomba layangan tahun ini.
Ucup
merasa senang dengan keputusan mengalah dan merasa bahwa ini adalah momen yang
sangat berharga dalam hidupnya. Hal tersebut dilakukan demi menjaga nama
baiknya dan nama baik almarhum ayahnya. Meski kalah dalam perlombaan, Ucup
merasa lega mengetahui bahwa ia telah memilih jalan yang terbaik dibandingkan
memperoleh kemenangan yang didapat melalui kecurangan. Walaupun tidak berhasil
membawa pulang sepeda dan tidak berhasil mendapat sepeda baru, dia telah
berhasil membawa pulang harga dirinya dan nama baik orang tuanya. Perlombaan
ini mengajarkan banyak hal kepada Ucup, sehingga dia benar-benar mengetahui apa
sebenarnya bahaya bermain layangan.
Pengumuman
pemenang dimulai. Dayat yang maju ke depan denganbangganya menerima hadiah
tersebut dan dia senang orang lain tidak sadar akan hal yang diperbuat. Orang
lain hanya beranggapan bahwa itu merupakan faktor ketidaksengajaan. Setelah
selesai menyerahkan hadiah lomba kepada pemenang, Dayat langsung menghampiri
Ucup.
"Kenapa
kamu mau mengalah?" tanya Dayat dengan heran. "Aku tahu kamu lebih
membutuhkan hadiah lomba itu daripada aku.
Walaupun
sepedaku sudah lusuh dan sekarang rusak, setidaknya masih bisa diperbaiki dan
digunakan kembali. Sedangkan kamu? Kamu tidak mempunyai sepeda sama
sekali."
Mendengar
jawaban Ucup, akhirnya Dayat pun minta maaf dan menyesali perbuatannya. Dia
berjanji akan bermain secara sehat dan tidak mau mengulangi kesalahannya.
"Nanti
aku buatkan kamu layangan baru. Setiap sore kita bermain layangan bersama
yuk!"
"Oke.
Setiap pagi kita bermain sepeda bersama juga ya!." Keduanya pun tersenyum
karena bisa menjadi teman baik. Mereka merasakan kebahagiaan yang mendalam
karena bisa saling melengkapi kekurangan satu sama lain. Dayat menyadari bahwa
orang yang sangat dia benci adalah orang yang sangat peduli dengannya. Dan bagi
Ucup, mengalah bukan berarti kalah. Dengan memahami arti pengorbanan dan
kesediaan untuk mengalah dapat memberikan manfaat untuk dirinya sendiri dan
orang-orang yang dia cintai.
Tamat.
0 Comments
Posting Komentar