CITRA FRESH GRADUATE

Sucy Putri Mayu (21017082)


Tumpukan amplop berkulit kacang di meja sudut ruangan menyita besar pandangan Piana. Ada puluhan pelamar yang menanti kabar lanjut atau tidaknya mereka ke tahap interview. Seorang perempuan dengan blazer hitam masuk ke ruangan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. “Rapat dimulai pukul sepuluh. Tidak diperbolehkan terlambat atau izin.” Setelah mengatakan itu, ia pergi begitu saja. Bersama dengan rekan yang lain, staf iklan dan pemasaran sudah memasuki ruang rapat.

Jajaran tertinggi di perusahaan Majalah Femina telah duduk dengan setelan kasualnya. Vio selaku sekretaris mulai mempresentasikan tentang kualifikasi pelamar kerja. “Adapun syarat yang harus dimiliki setiap pelamar adalah riwayat pengalaman kerja sebelumnya. Namun, pada surat lamaran pekerjaan yang masuk tidak satupun yang memenuhi syarat tersebut.” 

Piana melirik direktur yang nampaknya mengangguk pertanda setuju dengan pemaparan sekretarisnya. Vio melanjutkan, “Kualifikasi karyawan di perusahaan kita ini juga menyesuaikan. Apabila terdapat pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik pada waktu yang ditentukan, perusahaan akan mempertimbangkan kembali karyawan yang bersangkutan.” 

Suasana terasa menegangkan. Wajah-wajah penuh kesolidaritasan itu kini berubah menjadi individualisme. Rapat berlangsung hampir satu jam. Tidak ada satupun pihak kontra. Mereka seolah-olah menyetujui tentang peraturan yang baru. Saingan sekarang tidak hanya berada di luar perusahaan, tetapi juga antar sesama karyawan perusahaan. 

“Riani,” panggil Piana mencoba menyadarkan temannya yang diam-diam tertidur saat rapat. Beruntungnya tidak ada yang sadar. Itu bisa terjadi karena Riani memakai kacamata tebal. 

Keluar dari ruangan rapat, Piana menjelaskan kepada Riani. “Makin edan sekarang peraturan. Istilah kasarnya kita bisa dipecat kalau nggak menuhin target.” 

Piana merasa sedang berbicara sendiri karena Riani mencoba melanjutkan tidur setelah dirinya terduduk di kursi. “Ri, lo ngantuk berat, ya?”

Gadis itu tersentak. “Ah, nggak kok. Apa tadi, Pin?” 

Piana mengangkat kedua bahunya. Percuma menjelaskannya kepada Riani karena dia akan mengambil kesempatan untuk tertidur lagi. Benar saja, diamnya Piana digunakan Riani untuk tidur. Benar-benar santai, batin Piana.

***

Dua sticky notes di ceklis oleh Piana. Pekerjaannya hari ini sudah selesai, namun tetap saja jadwal pulangnya sama dengan karyawan yang lain. Piana menyerahkan laporan harian kepada kepala staf iklan dan pemasaran. 

“Laporan iklan sama selebgram Anya Geraldine kemarin mana, Piana?” tanya Pak Angga setelah memeriksa tugas Piana. 

“Maaf Pak, bukan saya penanggung jawab iklan dengan selebgram Anya Geraldine. Saya adalah penanggung jawab iklan dengan selebgram Dara Arafah dan di tangan Bapak adalah hasil laporan iklan dan analisis brandingnya terhadap perusahaan kita,” jelas Piana dengan fakta. Setiap staf iklan dan pemasaran mendapatkan bagiannya tersendiri dan Piana tidak memiliki hak untuk ikut campur dengan tugas orang lain.

“Oh, baik. Saya keliru. Bukan kamu, tetapi Riani. Setelah ini tolong panggilkan Riani menghadap ke saya,” pesan Pak Angga.

Jadwal makan siang sudah dimulai lima menit yang lalu dan Riani sepertinya terlambat. Setelah Piana menyampaikan pesan Pak Angga tadi, nampaknya belum ada tanda-tanda Riani akan keluar dari ruangannya. Ia jadi teringat betapa kusutnya wajah Riani saat ditanyakan mengenai laporan iklan selebgram Anya Geraldine. 

“Ri, Pak Angga nanyain laporan iklan kemarin. Kamu belum kumpul?” 

“Udah kok laporan harian udah gue kumpul, Pin.”

“Laporan iklan parfum sama Anya Geraldine?” 

Raut wajah Riani berubah menjadi ketakutan. “Astaga! Pin, lo duluan aja ke kantin.”

“Woles, gue tungguin, Ri.” 

Itu adalah pesan terakhir dari Riani sebelum memasuki ruangan Pak Angga. Piana masih setia menunggunya, namun setelah hampir sepuluh menit Riani belum memunculkan diri. Hal itu membuatnya jenuh dan pergi ke kantin sendirian. 

Porsi makan Piana cukup banyak hari ini karena menu makan siang adalah ayam panggang madu bersama dengan udang saus tiram. Jika Riani ada di sini, ia akan melakukan hal yang sama. Mulanya Piana duduk sendirian. Tak lama setelahnya datang Andria. Ia merupakan salah satu HRD di perusahaan Majalah Femina. 

“Hai,” sapa Andria sembari meletakkan nampannya di meja yang sama dengan Piana. 

“Hai, Andria,” sapa Piana dengan senyum tipis.

Twins lo mana?” 

Sudah jelas maksud Andria adalah Riani. Di kantor ini, Piana dan Riani terkenal sebagai sepasang sahabat yang memulai karir bersama dan tidak bisa dipisahkan. Jika tidak ada Riani, maka mereka akan menanyakannya kepada Piana. Begitu juga sebaliknya. 

“Masih di ruangan. Gue disuruh duluan.” 

Andria menanggapi dengan anggukan. Dentingan sendok dan garpu memenuhi kantin. “Oh, ya, Ndri.” Piana memulai percakapan. “Kenapa kualifikasi pelamar kerja di perusahaan kita ini harus ada riwayat kerja sebelumnya? Gimana sama fresh graduate? Gue lihat pelamar kemarin kebanyakan baru tamat. Itu mereka nggak dapat kesempatan?”

“Pertanyaan yang bagus. Memang ironi dan sangat disayangkan, tapi jawabannya ya nggak diterima. Gimana bisa kita nerima seseorang yang nggak ada keahlian sama sekali?” Andria berkata mantap.

“Tapi kan dia bisa belajar, Ndri?”

“Lo mau ajarin dari awal, Pin?”

“Ya ... Hm ...” Piana terdiam. Di dalam hatinya, Piana merasa ada kejanggalan atas kualifikasi pelamar kerja di perusahaannya ini. Namun, realitanya demikian. Perusahaan tidak mau ambil pusing dengan mempekerjakan seseorang tidak kompeten di bidangnya. 

“Oh, jadi itu sebabnya ya, tumpukan amplop lamaran pekerjaan batch kemarin dibiarin gitu aja,” lirih Piana. Ada rasa sedih di lubuk hatinya. Bagaimana jika ia berada di posisi pelamar tersebut? Harapan saja tidak membantu. 

“Eh, hai, Riani sini.” Andria menyapa seseorang yang familiar. 

Riani meletakkan nampannya dan duduk di sebelah Piana. “Aman, kan, Ri?”

“Aman.” Wajah Riani terlihat sumringah. Berbeda dari keadaannya tadi pagi.

***

Pukul lima sore merupakan waktu favorit semua kalangan di perusahaan Majalah Femina. Direktur hingga karyawan biasa seperti Piana pulang pada waktu yang ditentukan. Tak ada yang ingin berlama-lama di kantor karena besok rutinitas mereka masih sama. Piana mengait lengan sahabatnya. Mereka pulang bersama menggunakan trans Jakarta ke kos masing-masing. Setelah duduk di bangku yang kosong, Piana berceletuk, “Ri, lo nggak apa-apa, kan?” 

Gadis yang ditanya menoleh. “Oiya, sori gue belum cerita. Tadi itu Pak Angga nanyain laporan iklan sama selebgram Anya Geraldine yang ke bawa sama gue kemarin. Laporannya udah gue kasih kok tadi.” Riani mendengus dan melanjutkan, “Keknya gue butuh tambahan orang deh buat handle pekerjaan ini. Ngerjain sendiri itu capek banget nggak, sih, Pin?”

“Betul banget, gue kadang juga kewalahan. Padahal perusahaan kita buka loker sekali tiga bulan, tapi kenapa ya dikit banget yang ke terima. Justru bagian iklan dan pemasaran lagi yang kurang,” jelas Piana ditanggapi anggukan penuh semangat oleh Riani.

“Iya, lihat aja ada ketimpangan jumlah karyawan. Pada bagian editor nyampe puluhan karyawan. Kenapa bagian pemasaran cuman sembi, eh sepuluh orang?” Riani mencoba menghitung nama-nama rekan kerjanya. 

“Bener, sepuluh manusia aja. Ha-ha, pantes ke rasa banget capeknya.” Piana tertawa getir. Hening selama beberapa saat. Langit ibukota terlihat cantik dengan warna jingga keemasan.  Lalu-lalang kendaraan dan asapnya sebagai pemandangan lumrah yang bisa dilihat di jendela trans Jakarta.

“Ri, besok gue bakal minta saran Pak Angga tentang rekrut karyawan di staf iklan dan pemasaran.  Menurut lo gimana?” 

Riani mengangkat bahu dan alisnya terangkat satu. “Hm, boleh, but jawaban apa yang lo ingin denger dari beliau?”

Goodjob, Piana. Saya setuju.”

Riani tertawa. “Ha-ha, ya kali semudah itu!”

***

Piana tiba di kantor lebih pagi dari biasanya. Matanya fokus pada satu titik. Di sudut ruangan, tumpukan amplop berkulit kacang itu masih berada di sana. Belum ada yang memindahkannya barangkali satu senti pun. Piana mengambil dan membacanya satu per satu. Pada laptopnya, ia membuat format kualifikasi pelamar kerja yang cocok di bidang staf dan pemasaran. Awalnya ia tidak menemukan kandidat karena kebanyakan pelamar tidak memiliki pengalaman apapun, namun setelah mereview semua cv tersebut Piana menemukan kandidat yang diinginkannya.

Rekan kerja yang lain sudah memasuki kantor termasuk Riani. Tak lama kemudian Pak Angga datang. Piana bersiap-siap ke ruangan kepala staf. Ia  juga sudah mencetak laporan hasil review kandidat pelamar kerja. Piana mengetuk pintu dua kali. “Pagi Pak.”

“Pagi. Silahkan masuk. Ada apa, Piana?”

Piana menjelaskan maksud kedatangannya. Adapun tujuannya adalah ia ingin menyampaikan bahwa berdasarkan cv pelamar kerja batch satu kemarin, Piana menemukan beberapa kandidat yang cocok terutama untuk staf iklan dan pemasaran yang kekurangan sumber daya manusia. 

Pak Angga terlihat skeptis. “Jika saya setujui, apa kamu bisa mengambil alih?”

“Maaf Pak. Mengambil alih maksudnya, Pak?”

“Empat kandidat yang kamu sarankan belum memiliki pengalaman kerja di bidang pemasaran, akan tetapi seperti yang kamu bilang bahwa mereka memiliki keterampilan promosi di media sosial. Jika saya  merekrut empat kandidat yang kamu sarankan ini, apa kamu sanggup menjadi mentor untuk tiga bulan?”

Pak Angga adalah tipe atasan yang menghargai pendapat bawahannya. Namun, ini bisa menjadi bumerang bagi Piana karena mentor bukan perkara membimbing saja. Ada tanggung jawab yang besar agar anak magang yang diasuh bisa menjadi terampil sepertinya. 

“Baik Pak. Saya akan coba.”

“Kalau gitu, besok kamu akan mewawancarai kandidat ini bersama Andria.”

“Siap, terima kasih Pak.”

Piana menceritakannya kepada Riani dari awal hingga akhir pertemuan dengan Pak Angga. Riani sontak berkata, “Pin, kalau anak magang lo gagal, lo pun gagal sebagai mentor. Lo nggak takut pemutusan kontrak?”

“Nggak segitunya, Ri. Gue yakin kok mereka bisa. Fresh graduate juga bisa kerja kali. Toh, kita dulu juga gitu waktu jadi anak magang. Pak Angga ngajarin kita dari yang nggak tahu apa-apa sampai tahu banyak hal tentang iklan dan pemasaran.”

Riani terdiam. “Bener juga. Aduh, maaf, gue lupa kalau kita juga pernah berjuang dari bawah.” Ia tersenyum dan melanjutnya, “Tenang Pin, gue bakal jadi mentor yang baik.”

“Yap. Semangat.”

***

Selama proses wawancara dengan bantuan Andria sebagai HRD, empat kandidat yang disarankan oleh Piana mendapatkan tanggapan yang cukup bagus. Selesai wawancara, Andria memuji Piana. “Keren, Pin. Lo nemu di mana calon staf pemasaran kayak mereka?”

Thanks. Dari cv yang awalnya ditolak, tapi gue review ulang khusus yang cocok sama tim pemasaran. Makasi juga bantuannya, Andria.” Piana mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Andria.

“Sama-sama. Perjalanan lo masih panjang. Keep spirit!

Memang tidak mudah. Di Minggu pertama, empat kandidat yang merupakan fresh graduate jurusan ekonomi dan bisnis itu kewalahan dengan penjelasan Piana dan Riani. Melihat kebingungan itu, Piana mengumpulkan anak magangnya. “Jobdesk kalian adalah mencari tokoh influencer yang berkecimpung di media sosial X. Fokus kandidatnya adalah ketertarikan pada bidang fashion. Bukannya tugas yang diberikan cukup mudah? Bagian mana yang kurang dipahami?”

“Iya Kak, maaf jika kami mengeluh. Kami sebenarnya bingung,” ucap Tari memandang Piana.

“Silahkan tanyakan,” kata Piana.

“Untuk followers kandidatnya ada minimal dan maksimal berapa Kak?”

Entah kenapa Piana tertawa pelan. “Oh, kalian bingung soal itu. Jadi, tokoh influencer di media sosial dikelompokkan berdasarkan nano, micro, macro, dan mega. Pertama, kalian cari dahulu siapa saja yang fokusnya pada bidang fashion. Lalu, kalian kelompokkan mereka. Setelah itu buat resume singkat, sosial branding, dan kontak mereka untuk kerja sama.” 

Tari dan Ira sekarang mengerti dengan jobdesk mereka. 

“Agar pekerjaan cepat selesai, silahkan kerja sama dengan Adyan dan Leo.”

“Siap, Kak.” Tari dan Ira keluar dari ruang konsultan bersamaan dengan masuknya Riani, Adyan, dan Leo. Tanpa pikir panjang, Adyan dan Leo dibawa keluar ruangan oleh Tari dan Ira.

“Baru aja masuk, hey,” ucap Adyan.

“Kita harus gercep. Tugas ini hampir dikejar deadline.”

Riani tertawa melihat anak magangnya ikut dibawa. Ia kemudian beralih melihat Piana merapikan berkas-berkas contoh laporan. “Gimana Pin, lancar?” tanya Riani.

“Ya, lumayan. Semoga aja selama tiga bulan ini mereka banyak berkembang ya, Ri.”

“Semoga. Semangat mereka itu, loh. Patut diacungi kerja lembur. Ha-ha.”

Piana menatap tajam sahabatnya.

“Bercanda, Pin. Ha-ha.” 

Setelah tiga bulan masa magang, baik Tari dan Ira akhirnya resmi menjadi staf iklan dan pemasaran di Majalah Femina. Piana dan Riani juga mendapatkan penghargaan sebagai mentor terbaik oleh direktur Majalah Femina. Berdasarkan yang mereka lakukan, perusahaan memutuskan untuk merekrut karyawan dengan percobaan magang. Cara tersebut efektif agar pelamar kerja bisa mendapatkan kesempatan dan pengalaman di perusahaan Majalah Femina. Perihal lolos atau tidaknya, itu tergantung kepada kerja keras dan dedikasi mereka terhadap perusahaan.


TAMAT