Diandra dan Luka di Masa Lalu
Annisa Ratu Wulandari (21016007)
Bohlam lampu dengan cahaya remang-remang menerangi meja belajar yang berukuran sedikit lebih luas. Beberapa buku dan alat tulis berserakan di atasnya. Beberapa buku juga ada yang tersusun rapi. Nampaknya buku-buku itu baru saja diberi sampul. Sementara itu, di luar turun hujan yang sangat deras. Sesosok tangan mungil memegang pensil dan menulis sesuatu pada buku yang sudah diberi sampul. "Diandra Aulia" nama yang ditulis gadis kecil itu di bukunya.
Tiba-tiba saja terdengar suara pintu depan dibuka perlahan. "Ibu pulang..." suara yang lembut itu datang dari balik pintu yang dibuka. Lalu muncul wanita berumur tiga puluhan.
"Ibu......." Diandra kecil dengan semangat menyambut kedatangan Ibunya. Ia sedikit berlari menghampiri pintu.
Ibu yang baru saja mengunci pintu menyambut Diandra kecil dengan penuh senyuman menyeringai. Diandra pun begitu, tersenyum ketika melihat wajah ibunya yang basah kuyup. "Eh, jangan dipeluk. Baju Ibu basah!" ucap Ibu saat Diandra ingin memeluknya.
Selama seminggu ini hujan selalu turun malam harinya. Musim hujan bulan Juni itu membasahi desa nan permai. Mungkin melepas dahaga seusai musim kemarau bulan lalu. Kemudian, Diandra kecil mengikuti Ibunya sampai ke kamar.
"Keluar dulu, ya? Ibu mau mengganti baju." pinta Ibu dengan lembut pada Diandra. Diandra hanya menggubrisnya dengan senyuman kecil tanda tak kecewa dengan permintaan Ibunya.
Tak beberapa lama kemudian, kembali muncul sosok seorang wanita yang amat cantik dengan daster yang dipakainya.
"Ibu, besok hari pertama Diandra sekolah lohh..." ucap Diandra dengan mata berbinar binar sembari menatap ibunya.
"Oh, ya?" Ibu memegang tangan Diandra dengan bangga dan tersenyum. "Itu artinya, Diandra sudah besar…" lanjut Ibu sambil masih memegangi tangan Diandra kecil yang lembut.
"Tangan Ibu dingin!" seru Diandra sambil menyeringai seolah seperti orang kedinginan. "Apa Ibu tidak kedinginan?" tanya Diandra.
"Mmm... Tentu tidak. Ibu kan, wanita yang kuat..." canda Ibu sampai membuat Diandra tertawa kecil.
"Apa Ibu seperti Wonder Woman?" tanya Diandra dengan naif.
"Menurutmu?" Ibu tersenyum mendengar pertanyaan dari Diandra.
"Menurutku, Ibu lebih dari itu!" Diandra memeluk Ibunya dengan hangat. Begitu pun Ibu mengecup kening Diandra dengan lembut. Ibu menggiring tangan Diandra menuju meja makan. Diandra pun duduk dengan tenang, menunggu Ibu menyajikan makanan. Setelah itu, Ibu juga duduk bersama Diandra.
"Ayah tidak ikut makan?" tanya Diandra saat melihat Ayahnya tak hadir ditengah-tengah mereka.
"Ayah tidur." jawab Ibu.
Diandra mengernyitkan dahi, merasa tidak puas dengan jawaban Ibu. "Ayah lelah!" Ibu melanjutkan bicaranya. Diandra kembali tenang seperti semula dan makan malam itu hanya mereka berdua yang menikmati. Dengan hujan yang masih mengguyur begitu deras di luar.
"Ini, Ibu yang masak?" tanya Diandra yang sepertinya suka dengan hidangan dihadapannya. Suaranya yang kecil membuat Ibu sedikit tersenyum.
"Ibu dibantu Bibi memasaknya." jawab Ibu. Raut wajah mungil Diandra yang cemberut tampak lucu.
"Ibu selalu saja begitu. Selalu saja dibantu Bibi. Kenapa tidak Ibu sendiri yang masak? Kalau Ibu yang masak pasti lebih enak!" Diandra mengomel-ngomel, sambil masih mengunyah makanan di mulutnya. Ibu tersenyum melihat sikap Diandra.
"Iya, besok Ibu yang akan memasak!" jawab Ibu. Mendengar jawaban dari Ibu, Diandra merasa puas dan melanjutkan makannya sampai tak tersisa. "Setelah itu, kamu pergi tidur ya, sayang?" suruh Ibu saat Diandra kecil selesai makan dan bersih-bersih. Ia hanya mengangguk angguk lalu meneruskan makan yang tersisa.
Malam itu, ditemani hujan yang masih mengguyur, Diandra tidur dengan perasaan tentram. Setelah tertidur, terdengar suara pintu kamar Diandra dibuka. Itu adalah Ibu. Ia hanya memastikan bahwa malaikat kecilnya sudah benar-benar tidur nyenyak. Namun, tak dipastikan, ternyata Diandra masih belum tidur betul.
"Diandra belum tidur?" tanya Ibu saat melihat Diandra membuka matanya.
"Malam ini, aku ingin Ibu yang menemaniku. Diluar hujan dan dingin. Jadi, aku takut sendiri! Ibu mau menemaniku?" tanya Diandra dengan penuh harapan supaya Ibu mau mengabulkan permintaannya.
Ibu menjawabnya dengan tersenyum yang kali ini nampaknya sedikit lelah. Lalu, Ibu menghampiri Diandra di ranjang dan tidur disebelahnya. "Ibu..." ujar Diandra memanggil Ibu yang tidur di samping sambil memeluknya.
"Iya?" Ibu menoleh pada Diandra.
"Bolehkah aku bermain hujan?"
"Apapun itu! Tapi tidak dengan hujan." kata Ibu yang maksudnya tidak membolehkan putri kecilnya bermain hujan.
"Kenapa?"
"Nanti kamu sakit!" jawab Ibu sambil mengelus rambut Diandra dengan lembut. "Jika aku sakit Ibu pasti bersamaku. Bukankah begitu?" ucap Diandra.
Ibu mengangguk sambil tersenyum. "Nanti, kalau aku sudah besar. Aku juga akan merawat Ibu. Aku akan bersama Ibu dan tak akan pernah meninggalkan Ibu!" Perlahan, butiran halus turun dari sudut mata Ibu dan mengenai wajah kecil Diandra.
"Ibu menangis?" tanya Diandra.
"Ibu bahagia!" jawab Ibu dengan senyum terharu. Diandra juga ikut senang, lalu meneruskan tidurnya dengan lelap di pangkuan Ibu.
***
"Memang dasarnya, kamu saja yang tidak bisa pengertian dengan aku!" Adi memasang wajah memelas pada Istrinya.
"Kamu itu Suami! Kamu yang seharusnya bisa mengerti kemauan Istri! Aku capek, harus memberi pengertian padamu terus..." Sandra berkata dengan nada tinggi.
"Eh, aku itu susah-susah kerja buat kamu dan anak kita!" bentak Adi membela dirinya.
"Kerja apa? Kerja yang penghasilannya tak seberapa itu? Lalu kamu habiskan untuk beli rokok?" Sandra lagi-lagi meninggikan nada suaranya. "Sudah kukatakan padamu, berhenti merokok. Uang makan sehari-hari saja tidak kau cukupi. Rokok malah kau beli. " ucap Sandra dengan sinis.
"Sialan! Ternyata kau sudah berani menjawabku, ya?" sekejap wajah Adi berubah menjadi merah. Emosinya meluap-luap. Ia menendang beberapa kursi plastik di depannya.
"Kenapa kau marah sampai menendang kursi segala? Apa yang ku ucapkan itu benar, bukan?" kata-kata Sandra semakin membuat Adi kesal dan marah.
PLAAKKK!!!! Tamparan mendarat mulus di pipi Sandra. Spontan ia memegang pipinya yang sakit ditampar Suaminya. Dari balik pintu kamar, terlihat Diandra kecil yang mendekap di dinding balik pintu. Butiran bening mencucur dipipinya yang cabi. Sepertinya, baru saja ia menyaksikan perdebatan yang sengit antara Ayah dan Ibunya itu.
Adi dan Sandra kaget melihat malaikat kecil mereka yang berdiri dengan harapan kosong. Segera Sandra menghampiri anaknya sambil menahan air mata yang hendak jatuh.
"Diandra, kamu sudah bangun? Kenapa tidak memanggil Ibu?" ucap Sandra seperti seolah tak terjadi apa-apa. Bukannya menjawab Ibunya, Diandra malah merengek keras sambil memegang pipi Ibunya yang ditampar. Lalu melirik sesekali ke arah Ayahnya.
Adi hanya bisa diam dan duduk di kursi seraya memegangi kepalanya dengan kedua tangan. "Ah, sial. Aku terlalu emosi!" sungut Adi dalam hatinya. Sementara Sandra berusaha menenangkan putri kecilnya yang masih menangis.
"Sayang, jangan menangis. Ibu tidak apa-apa! Jangan menangis, ya? Ibu baik-baik saja.." Sandra membujuk Diandra kecil agar tidak menangis dan meyakinkannya bahwa ia tidak apa-apa. Namun, Diandra masih menangis. "Oh ya, kamu harus pergi sekolah! Ayo mandi." Ibu menggiring tangan Diandra sampai ke kamar mandi.
Selesai mandi dan beranjak untuk sarapan, raut wajah Diandra masih kusut. Hari pertamanya sekolah, yang seharusnya diisi dengan keceriaan malah berganti dengan melihat pertengkaran hebat antara Ayah dan Ibunya. Ah, Diandra bisa apa? Hanya bisa menangis tanda menyuruh berhenti. Sudah. Jangan teruskan lagi! Hanya itu saja. Dan tidak lebih.
"Kenapa wajahmu masih seperti itu?" tanya Ibu dimeja makan saat melihat Diandra yang belum juga menggubris sarapannya. Diandra hanya diam sebentar. "Ayah tidak sayang padaku, ya?" tanya Diandra bersungut-sungut.
"Tidak. Ayah sangat menyayangimu dan kita." jawab Ibu agak ragu-ragu dengan kalimatnya.
"Lalu, kenapa Ayah memukul Ibu?" tanya Diandra. Raut wajah gadis kecil itu sepersekian detik berubah drastis. Mendengar pertanyaan putri kecilnya, Sandra menghampirinya.
"Ayah itu sayang padamu, Ibu, dan kita. Hanya saja, tadi itu Ayah khilaf. Ayah tidak bermaksud begitu pada Ibu." jelas Sandra meyakinkan Diandra bahwa tak terjadi apa-apa, hanya sebuah kesalahpahaman saja.
"Tapi aku tak suka, ayah begitu.." Diandra kembali merengek.
"Eh, sudah. Jangan menangis. Katanya mau sekolah. Anak sekolah tidak boleh menangis." bujuk Ibu. Bersusah payah menenangkan Diandra, akhirnya ia bisa didiamkan.
Barulah tenang hati Sandra melepas langkah kaki anaknya menuju sekolah dan hari pertama belajarnya.
***
Begitulah yang masih ia ingat delapan tahun yang lalu. Kenangan manis dengan sang ibu dan luka di masa lalu oleh ayahnya sendiri. Sekarang ia tinggal dengan ayahnya, meski sudah memaafkan ayahnya atas apa yang ia lakukan di masa lalu terhadap bidadari yang ia cintainya itu. Namun tetap saja, jikalau mengingat peristiwa itu hati Diandra kembali sakit, kembali teriris pedih. Dia tidak mau menyalahkan ayahnya atas semua yang telah berlalu. Dia tidak mau dendam pada ayahnya sendiri. Biarkan waktu yang memberi balasnya.
0 Comments
Posting Komentar